PENDALILAN dengan dua hadits di atas untuk menyatakan bahwa sholat yang memiliki satu tasyahhud duduk akhirnya iftirasy, adalah tidak tepat. Karena dua hadits di atas bersifat mutlak (makna yang lepas/tidak dibatasi). Dan suatu dalil yang mutlak harus dibawa kepada dalil yang muqoyyad( makna yang dibatasi).
Artinya hadits yang dzohirnya menunjukkan bahwa nabi duduk iftirasy ketika duduk tasyahhud pada rekaat kedua, harus dibawa kepada duduk tasyahhud awal. Karena telah ada hadits lain yang mentaqyiid (membatasi) bahwa duduk tasyahhud akhir duduknya tawwaruk.
Al-Imam Asy-Syafi’i –rahimahullah- berkata:
فَحَدِيثُ أَبِي حُمَيْدٍ وَأَصْحَابِهِ صَرِيحٌ فِي الْفَرْقِ بَيْنَ التَّشَهُّدَيْنِ وَبَاقِي الْأَحَادِيثِ مُطْلَقَةٌ فَيَجِبُ حَمْلُهَا عَلَى مُوَافَقَتِهِ فَمَنْ رَوَى التَّوَرُّكَ أَرَادَ الْجُلُوسَ فِي التَّشَهُّدِ الْأَخِيرِ وَمَنْ رَوَى الِافْتِرَاشَ أَرَادَ الْأَوَّلَ وَهَذَا مُتَعَيَّنٌ لِلْجَمْعِ بَيْنَ الْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ لَا سِيَّمَا وَحَدِيثُ أَبِي حُمَيْدٍ وَافَقَهُ عَلَيْهِ عَشَرَةٌ مِنْ كِبَارِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ
“Hadits Abu Humaid dan para sahabatnya sangat jelas dalam menjelaskan perbedaan antara dua tasyahhud. Adapun hadits yang lain (Hadits Wail bin Hujr dan Aisyah) bersifat mutlak. Maka wajib untuk membawanya (hadits Wail dan Aisyah) kepada makna yang cocok dengannya (hadits Abu Humaid). Maka barang siapa yang meriwayatkan dengan sifat tawwaruk, maka dia menginginkan duduk pada tasyahhud akhir. Dan barang siapa yang meriwayatkan dengan sifat iftirasy, maka dia menginginkan tasyahhud awal. Ini sebuah keharusan dalam rangka untuk mengkompromikan antara hadits-hadits shohih. Terlebih, hadits Abu Humaid telah dicocoki oleh sepuluh sahabat nabi yang senior –radhiallohu ta’ala anhum-.” [ Sebagaimana dinukil oleh An-Nawawi dalam Al-Majmu’ : 3/451 ].
BACA JUGA: Kapan Harus Gerakkan Telunjuk saat Tasyahud?
Al-Imam Al-Mubarokfuri –rahimahullah- berkata:
قَالَ الشَّافِعِيُّ وَالْأَحَادِيثُ الْوَارِدَةُ بِتَوَرُّكٍ أَوِ افْتِرَاشٍ مُطْلَقَةٌ لَمْ يُبَيَّنْ فِيهَا أَنَّهُ فِي التَّشَهُّدَيْنِ أَوْ فِي أَحَدِهِمَا وَقَدْ بَيَّنَهُ أَبُو حُمَيْدٍ وَرُفْقَتُهُ وَوَصَفُوا الِافْتِرَاشَ فِي الْأَوَّلِ وَالتَّوَرُّكَ فِي الْأَخِيرِ وَهَذَا مُبَيَّنٌ فَوَجَبَ حَمْلُ ذَلِكَ الْمُجْمَلِ عَلَيْهِ وَاللَّهُ
“Imam Asy-Syafi’i –rahimahullah- berkata : Hadits-hadits yang datang dengan sifat tawwaruk atau iftirasy sifatnya mutlak, tidak dijelaskan di dalamnya, apakah di dalam dua tasyahhud ( awal dan akhir) atau di salah satu dari keduanya. Dan sungguh Abu Humaid dan sahabatnya telah menjelaskan serta menyifatkannya, bahwa duduk iftirasy pada (tasyahhud awal) dan tawwaruk pada (tasyahhud) akhir. Dan ini yang telah dijelaskan. Maka wajib untuk membawa dalil yang mujmal (global) kepada kepadanya(mubayyan/telah dijelaskan).” [ Tuhfatul Ahwadzi : 2/154 ].
Al-Imam Ahmad sendiri ternyata memiliki dua riwayat pendapat dalam masalah ini. Yang satu apa yang telah kami sebutkan di atas. Dan ini pendapat yang marjuh (lemah) walaupun masyhur dari beliau. Dan yang satu, pendapat yang mencocoki pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i .
Al-Imam Al-Baihaqi –rahimahullah- (wafat : 458 H) juga mengikuti pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i –rahimahullah-. Beliau berkata:
وَأَمَّا حَدِيثُ أَبِي الْجَوْزَاءِ، عَنْ عَائِشَةَ …وَحَدِيثُ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ …فَأَحَدُهُمَا وَارِدٌ فِي التَّشَهُّدِ الْآخِرِ وَالثَّانِي وَارِادٌ فِي التَّشَهُّدِ الْأَوَّلِ بِالِاسْتِدْلَالِ بِحَدِيثِ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ وَأَصْحَابِهِ
“Adapun hadits Abul Jauza’ dari Aisyah….dan hadits Wail bin Hujr….maka salah satu dari keduanya datang pada tasyahhud akhir dan yang kedua datang pada tasyahhud awal dengan dalil hadits Abu Humaid As-Saidi dan para sahabatnya.” [ Sunan Al-Kubro : 2/185 ].
Jika kita amati, maka pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i merupakan pendapat yang paling baik. Karena dengan pendapat ini, seluruh dalil-dalil shohih yang ada telah terpakai semuanya dengan jalan dikompromikan. Adapun jika kita memakai pendapat Al-Imam Ahmad, atau Al-Imam Abu Hanifah, maka kita akan membuang salah satu dalil yang shohih.
Hikmah dalam masalah ini, dijelaskan oleh Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah-:
قَالَ أَصْحَابُنَا الْحِكْمَةُ فِي الِافْتِرَاشِ فِي التَّشَهُّدِ الْأَوَّلِ وَالتَّوَرُّكِ فِي الثَّانِي أَنَّهُ أَقْرَبُ إلَى تذكر لصلاة وَعَدَمِ اشْتِبَاهِ عَدَدِ الرَّكَعَاتِ وَلِأَنَّ السُّنَّةَ تَخْفِيفُ التَّشَهُّدِ الْأَوَّلِ فَيَجْلِسُ مُفْتَرِشًا لِيَكُونَ أَسْهَلَ لِلْقِيَامِ وَالسُّنَّةُ تَطْوِيلُ الثَّانِي وَلَا قِيَامَ بَعْدَهُ فَيَجْلِسُ مُتَوَرِّكًا لِيَكُونَ أَعْوَنَ لَهُ وَأَمْكَنَ لِيَتَوَفَّرَ الدُّعَاءُ وَلِأَنَّ الْمَسْبُوقَ إذَا رَآهُ عَلِمَ فِي أَيِّ التَّشَهُّدَيْنِ
BACA JUGA: Tata Cara Shalat Masbuk
“Para sahabat kami berkata, hikmah dalam duduk iftirasy pada tasyahhud awal dan tawwaruk pada tasyahhud kedua (akhir), karena hal ini lebih dekat kepada tadzakkur (mudah mengingat) untuk suatu sholat dan tidak adanya kesamaan bilangan rekaat-rekaat. Karena sesungguhnya yang sunnah, meringankan tasyahhud awal maka seorang duduk dengan kondisi iftirasy, agar lebih mudah untuk bangkit kembali. Dan yang sunnah, memperpanjang yang kedua dan tidak tidak ada berdiri setelahnya. Maka seorang duduk dengan cara tawwaruk agar lebih menolong atau memperkokoh dia. Sehingga dia bisa lebih memenuhi do’a secara sempurna. Dan karena seorang yang masbuk, apabila melihatnya, akan tahu di tasyahhud mana orang tersebut.” [ Al-Majmu’ Syarhul Al-Muhadzdzab : 3/451 ].
Kesimpulan:
Cara duduk tasyahhud akhir dengan tawwaruk, baik sholat yang memiliki dua tasyahhud ataupun satu. Adapun duduk tasyahhud awal, maka dengan cara iftirasy. []
Facebook: Abdullah Al Jirani