KITA sering memisah-misahkan antara dunia dan akhirat, antara kehidupan sosial dan agama, dan antara relasi manusia-manusia dan manusia-Tuhan. Sesungguhnya, keduanya dipisahkan adalah untuk disatukan.
Alquran menuntut manusia agar aktif dalam mengarungi dunia ini. Kita ingat bahwa manusia terdiri dari roh dan jasad, dan keduanya harus diseimbangkan. Dalam Alquran, kata al-hayaat (hidup) dan al-mamaat (sesudah mati) di ulang sama banyak yaitu 145 kali.
Bukannya kita harus memilih antara mementingkan shalat atau kerja. Hakikatnya yg betul adalah shalat dikerjakan pada waktu shalat dan kerja dilakukan pada waktu bekerja.
BACA JUGA: Dunia, Bagaikan Air Lautan
Nabi bersabda, “Bukan yang terbaik di antara kamu yang mendahulukan akhirat sementara dunia ditinggalkan atau mendahulukan dunia sementara akhirat ditinggalkan. Yang terbaik di antara kamu adalah yang menghimpun keduannya”.
Kita didorong untuk berusaha menguasai dunia dan berhati-hati agar dunia tidak menguasai diri kita. Dalam hal harta Rasul bersikap, “Akan kutaruh harta di tanganku, bukan di hatiku”.
Rasulullah adalah bukti yang jelas. Rasulullah adalah manusia yang paling mulia di dunia dan di akhirat. Dialah Insan Kamil, namun ia meraihnya seperti manusia lain, ia makan, minum, tidur dan berkeluarga sebagaimana orang lain.
Untuk menjalankan dunia dengan benar, maka kita harus bertakwa. Orang yang bertakwa akan menyeimbangkan duniannya dan akhirat, menyeimbangkan kehidupan rumah tangga dan urusan masyarakat, dan seterusnya.
Orang yang bertakwa boleh merasakan kenikmatan dunia juga. Dalam surat An-Nisaa ayat 134 dikatakan bahwa di sisi Allah ada pahala di dunia sekaligus di akhiat.
Kuncinya kita harus paham apa itu dunia, serta apa dan bagaimana corak kehidupan di dunia, yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan.
Sikap seorang muslim dalam menghadapi dunia haruslah positif. Sebagai khalifah di bumi ia tidak boleh lari, namun ia harus menguasai dalam arti mengatur dan memakmurkan dunia.
Manusia jangan merendahkan diri terhadap alam raya ini, karena Allah telah memuliakan dan melebihkan manusia terhadap makhluk yang lain.
Agar dapat menjalankan tugasnya ini maka manusia harus mengembangkan ilmu pengetahuan. Semua ilmu adalah ilmu Allah, kecuali ilmu hitam.
Dari Muadz bin Jabal, Nabi SAW bersabda, “Tuntutlah ilmu pengetahuan karena hal itu menandakan kita takut kepada Allah. Menuntut ilmu itu adalah suatu ibadah, sedangkan mengingatnya adalah tasbih, menganalisisnya merupakan jihad, sementara mengajar merupakan petunjuk dalam menentukan mana yang halal dan mana yang haram bahkan menjadi pelita bagi jalan menuju surga”.
BACA JUGA: Agar Tak Menyesal Dunia Akhirat, Berhati-hatilah dalam Memilih Teman
Ilmu adalah teman di kala takut, sahabat ketika sendirian, bahkan teman bicara dalam keterasingan. Ia merupakan petunjuk di kala susah dan senang, senjata ampuh dalam berhadapan dengan musuh, tapi menjadi hiasan dan gubahan di waktu sunyi.
Allah meninggikan derajat suatu masyarakat yang berilmu sehingga mereka menjadi teladan bagi yang lain. Ide dan pemikiran mereka menjadi panutan. Mereka selalu ditemani malaikat yang mengusap-usap mereka dengan kelembutan sayapnya serta mendoakan mereka.
Setiap daun ranting dan riak-riak gelombang laut ikut memintakan ampunan bagi mereka, begitu juga semua hewan di darat dan d laut.
Ilmu menghidupkan jiwa dari kebodohan yang mematikan, menerangi kita dari kegelapan, sehingga setiap orang akan mencapai kedudukan dan derajat yang tinggi mulia di dunia dan di akhirat kelak. []
Sumber: Tangan-tangan yang Dicium Rasul/Syahyuti/Pustaka Hira/Depok/Oktober 2011