JIKA pada suatu masyarakat, terbiasa menggunakan jenis pakaian yang berbeda di momentum yang berbeda, maka ini adalah ‘urf di antara mereka, dan fiqih Islam tidak menolak hal ini. Misal, kalau di masjid dan pengajian: pantasnya pakai baju koko dan sarung. Kalau di resepsi pernikahan: pantasnya pakai kemeja sasirangan dan celana kain panjang. Kalau jalan-jalan santai: tidak masalah pakai kaos oblong.
Penggunaan jenis pakaian yang berbeda seperti di atas, jika diterima oleh umumnya masyarakat, maka ia diakui dan dibenarkan dalam fiqih Islam. Tidak diingkari. Bahkan yang sengaja mengingkari dan berlainan dengan orang kebanyakan (dan mereka asing dan tidak terbiasa dengan hal yang berlainan itu), maka ini bisa menjatuhkan muruah seseorang.
BACA JUGA: Bermadzhab dalam Fiqih, Pentingkah?
Namun, para ahli fiqih memberikan batasan pada ‘urf ini, hingga ia tidak terjatuh pada ‘urf yang fasid dan diharamkan dalam Islam. Salah satunya adalah, ia tidak melanggar hal-hal yang jelas diharamkan dalam Islam.
Karena itu, meskipun berpakaian bikini di pantai sudah menjadi kebiasaan di Bali sana misalnya, tak otomatis ia menjadi ‘urf yang diakui fiqih Islam. Memakai bikini jelas melanggar aturan syariah yang baku tentang kewajiban menutup aurat di tempat umum. Maka, mau ia kebiasaan orang-orang Bali, atau bahkan kebiasaan seluruh penduduk dunia, tetap saja hukumnya haram menurut kacamata fiqih Islam, tanpa ada khilaf. ‘Urf fasid semacam ini tak boleh diikuti.
BACA JUGA: Tokoh Ilmu Fiqih juga Jago Ilmu Hadis Lho!
Demikian pula seharusnya kita memandang hal-hal yang disebut dengan kearifan lokal, khas nusantara, dan semisalnya. Jika ia ‘urf yang tidak bertentangan dengan nash syariah, maka ia diakui dan diterima. Namun jika bertentangan, ia tertolak. Adat-istiadat tidak boleh berada di atas Syariat.
Wallahu a’lam.
(Yang ingin baca pembahasan ‘urf, bisa buka kitab Ushul Al-Fiqh Al-Islami, karya Wahbah Az-Zuhaili, atau kitab-kitab ushul fiqih lainnya).
Facebook: Muhammad Abduh Negara