JAKARTA—Peristiwa pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid pada Hari Santri Nasional di Garut menyulut berbagai reaksi. Banyak pihak yang mengecam aksi yang dilakukan oknum Banser NU tersebut. Namun, tak sedikit juga pihak yang membelanya.
Lantas, bagaimana sebenarnya hukum membakar bendera yang bertuliskan kalimat tauhid?
BACA JUGA: Dilaporkan, Pembakar Bendera Tauhid Dijerat Pasal Penodaan Agama
Wakil Ketua Umum Najelis Ulama Indonesia (MUI) Yunahar Ilyas mengatakan, tidak ada hukum tunggal membakar bendera atau benda dengan tulisan kalimat tauhid. Penggunaan hukum didasarkan pada niat dan latar belakang perbuatan tersebut.
“Tergantung dalam rangka apa membakarnya. Jadi hukumnya itu tidak tunggal, tergantung dalam rangka apa membakarnya,” ujar Yunahar di Kantor MUI, Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat, Selasa (23/10/2018).
Yunahar kemudian memberikan ilustrasi peristiwa yang hampir sama pada masa kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan. Saat itu Utsman meminta para sahabat mengumpulkan mushaf atau naskah Alquran.
Kemudian, mushaf pribadi milik para sahabat itu dimusnahkan dengan cara dibakar. Hal itu dilakukan untuk menyeragamkan atau standarisasi mushaf sehingga tidak ada perbedaan tulisan Alquran.
“Dan bisa juga kita menemukan kalimat atau kertas Alquran yang tercecer, bisa saja orang memusnahkannya untuk menjaga kemurniannya,” kata Yunahar.
BACA JUGA: MUI Imbau Umat Tidak Terprovokasi Peristiwa Pembakaran Bendera Tauhid
Namun dalam perkara bendera tauhid ini, kata Yunahar, perlu dilihat terlebih dulu apa niat dan latar belakang pelaku membakarnya.
“Karena ini peristiwa tidak terjadi dalam ruang kosong. Kalau dalam ruang kosong nggak akan ada pertanyaan-pertanyaan dan tidak akan menimbulkan kegaduhan,” ucap Yunahar. []
SUMBER: LIPUTAN6