Oleh: Dinda Anggi Arisa Putri
Mahasiswi semester 4 jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Mayoritas dari kita mungkin masih sering mendengar pernyataan dari guru atau bahkan orang tua mengenai wajibnya menempelkan dahi, utamanya pada saat sujud. Dalam ketentuan islam yang berlaku memang diwajibkannya menempelkan dahi pada alas sujud, disebutkan dalam sebuah hadits:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ الله عَنْهُمَا عَنْ رَسُوْلِ الله صَلَى اللّه عَلَيْهِ وَسَلَم
قَالَ: ( أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ، وَلا نَكْفُتَ الثِّيَابَ وَلاالشَّعَرَ : الجَبْهَة، وَاليَدَيْنِ ، وَالرُّ كْبَتَيْنِ، وَأَطْرَافِ القَدَمَيْنِ،)
Artinya: dari Ibnu Abbas Bahwa bahwa Rasulullah bersabda aku diperintahkan untuk sujud diatas tujuh anggota badan, beliau tidak menyingkap pakaian dan rambut : yaitu dahi, kedua tangan, kedua lutut dan kedua ujung jari kaki.
Dahi menjadi bagian utama yang bahkan disebutkan paling awal dalam hadits diatas. Hal ini menunjukkan bahwa sahnya sholat dapat dilihat dari benarnya sujud yang merupakan rukun sholat ini. Lafadz (أُمِرْتُ )yang berarti “Aku (muhammad) diperintahkan” disini mengandung pengertian bahwa Allah ‘Azza wa Jalla yang memerintahkan, sehingga hukum dari pengerjaannya adalah wajib.
Tambahan dari imam Bukhari bahwa perintah ini berlaku bagi seluruh umat bukan hanya bagi Rasulullah saja, dinukil dalam riwayat lain melalui Syu’bah dari ‘Amr bin Dinar adalah penggunaan redaksi yang berbeda pada lafadz ( أُمِرْتُ menjadi أمرنا ) yang berarti “kami diperintahkan”. Sedangkan lafadz وَلا نَكْفُتَ الثِّيَابَ وَلاالشَّعَر mengandung pengertian tidak mengumpulkan atau tidak menggumpalkan rambut dan pakaian ketika sujud.
Dalam konteks ini memang memicu sedikit ketidak setujuan dari beberapa kalangan. Selama ini bahkan ajaran yang berlaku di masyarakat adalah diharuskannya telapak tangan dan dahi kita untuk menempel langsung pada tempat sujud tanpa adanya sesuatu yang menghalangi. Sehingga membiarkan sehelai kain (utamanya mukenah bagi perempuan) dianggap tidak sah, ini menurut pendapar Ibnu Al Mundzir yang meriwayatkan dari Al Hasan bahkan berpendapat bahwa sholat tersebut harus diulang.
Beberapa kasus dapat kita sandingkan penerapannya. Karena zaman Rasulullah pernah terjadi sahabat yang sholat dengan tidak menyingkapkan kainnya saat sujud, faktor penyebabnya adalah kala itu di siang hari dengan cuaca yang sangat panas. Dan beberapa kisah lain yang merupakan riwayat Sahal bin Sa’ad, menceritakan bahwa biasanya saat orang-orang sholat bersama nabi, mereka mengikat sarung ke pundak karena terlalu kecil, kekhawatiran yang muncul adalah takutnya aurat akan terbuka.
Alternatifnya adalah memilih untuk mengumpulkan kain dengan cara mengikat dan mengencangkannya. Kesesuaian kasus ini dapat dipahami sebagaimana kondisi yang terjadi. Sementara itu, kasus yang berbeda adalah jika rambut tidak disingkapkan maka khawatir akan ikut sujud bersama kepala dan menutupi dahi.
Hikmah dibalik tidak menyingkapkan kain saat sholat memang berlaku untuk anggapan agar tidak dinilai sombong karena ketidak inginan kita menempelkan kain atau apa apa yang menempel pada diri ikut menempel juga ditempat sujud. Namun menyingkap juga salah satu usaha untuk rukhsoh, memberi keringanan dalam meningkatkan kekhusyukan.
Menghindarkan atau menjauhkan sujud dengan hal-hal yang dapat mengganggu khusyuknya sujud, seperti melindungi dahi dengan menyiapkan kain sebagai alas sujud, tujuannya untuk mengurangi ketidak tenangan akibat panasnya kondisi. Yang dapat dipahami disini adalah meletakkan dahi ke tanah menjadi hukum asal. Lantas mengenai hukum dibentangkannya kain sebagai alas sujud merupakan sebab yang dikaitkan dengan kondisi yang berlangsung.
Karena memperhatikan penyempurnaan sujud sebagai rukun sholat ini juga penting. Sebagai manusia kita diperintahkan mengikuti sunnah nabi dan menjalankan atas apa yang trlah diperintahkan Allah. Penilaian kekhusyukan di pandangan manusia mungkin juga akan berbeda di pandangan Allah SWT. Wallahu ‘alam bis showwab.[]
Sumber : Kitab Fathul Baari Syarah Shahih Al Bukhari Buku 3 bab Sholat, peneliti Syaikh Abdul Aziz Abdullah bin Baz.
Kitab Ringkasan Shahih Al Bukhari karya Muhammad Nashiruddin Al-Albani.
Hadis-Hadis Muttafaq ‘Alaih Bagian Ibadat karya KH. Ahmad Mudjab Mahalli.