AGAMA Islam disyari’atkan Allah adalah sesuai dengan kemampuan manusia. Pada dasarnya apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya mampu dilakukan manusia (umat Islam), tidak mungkin Allah membebankan sesuatu yang di luar kemampuan manusia.
Dalam pada waktu pelaksanaan kewajiban agama Islam masing-masing individu masih juga diukur dan dikaitkan dengan kemampuan individu tersebut. Sebagai contoh, shalat adalah wajib dikerjakan dengan cara berdiri, tetapi jika seseorang tidak mampu mengerjakan shalat dengan cara berdiri karena sakit umpamanya, bisa dilakukan sambil duduk, berbaring, bahkan dengan isyarat pun diperbolehkan apabila itu batas kemampuannya. Inilah yang maksud dengan rukhsah (keringanan) dalam hukum Islam.
BACA JUGA: Puasa tapi Tidak Sahur, Sah Tidak?
Keringanan ini didasarkan pada firman Allah, seperti surat al-Hajj ayat 78, surat an-Nisa’ ayat 28, surat al-Baqarah ayat 185. Demikian halnya dalam melaksanakan ibadah puasa. Sebagai hukum azimah (keharusan) puasa diwajibkan kepada semua orang Islam yang sudah baligh.
Namun bagi orang-orang yang mendapat kesulitan untuk puasa, diberikan rukhsah (keringanan) untuk tidak berpuasa. Seperti orang yang sakit atau musafir (orang yang sedang bepergian) boleh tidak puasa dan menggantinya pada hari lain. Hal ini berdasarkan surat al-Baqarah ayat 184. Sebab kalau orang-orang tersebut tetap diwajibkan puasa, akan timbul masyaqah (kesulitana/keberatan).
Dalam pada itu bentuk keringanan untuk tidak berpuasa ada bermacam-macam, seperti boleh tidak berpuasa dan menggantinya pada hari lain, boleh tidak berpuasa dan tidak mengganti apda hari lain, tapi harus membayar fidyah 1 mud (0,5) makanan kepada fakir miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkannya.
Idealnya selama bulan Ramadhan orang Islam hendaknya bekerja disesuaikan dengan kemampuan fisik yang sedang puasa. Akan tetapi jika hal itu tidak dapat diatur, maka tidak ada salahnya bekerja pada bulan puasa. Persoalan jika tidak mampu berpuasa, selama ketidakmampuan itu tidak dibuat-buat, dan jika dipaksa, bisa menimbulkan petaka (sakit), maka tidak berdosa. Allah melarang umat manusia mencelakakan dirinya sendiri, sebagaimana yang difirmankanNya:
“…dan janganlah kamu mencampakkan dirimu ke dalam kebinasaan…” (QS al-Baqarah: 195)
Bagi orang yang tidak sanggup berpuasa kecuali dengan kesukaran yang sangat berat, seperti orang yang sangat tua, orang yang sakit-sakitan yang tidak ada harapan sembuh, wanita yang sedang hamil dan wanita yang sedang menyusui, Islam memberikan keringanan untuk tidak berpuasa dan menggantinya dengan cara memberikan makan kepada seorang fakir miskin setiap hari puasa yang ditinggalkannya sebesar 1 mud (0,5 kg). Hal ini sebagaimana disyariatkan dalam firman Allah:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ .. البقرة: ١٨٤
Artinya: “…dan bagi mereka yang tidak sanggup berpuasa, kecuali dengan mengalami kesukaran yang sangat, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin…” (QS. al-Baqarah ayat 184)
BACA JUGA: 3 Amalan yang Dianjurkan saat Puasa Ramadhan
Banyak para ulama yang menggolongkan para pekerja berat ke dalam kelompok “orang-orang yang tidak mampu berpuasa”, dalam surat al-Baqarah ayat 184 di atas. Mereka seumpama para pekerja tambang, para abang becak yang selalu mengayuh becaknya mencari dan menarik penumpang, para masinis yang sehari-harinya menjalankan kereta, para sopir yang setiap hari menjalankan kendaraan.
Oleh karena itu seseorang yang sehari-harinya menjalani pekerjaan berat dapat dimasukkan ke dalam kelompok ini, sehingga boleh tidak berpuasa sejak pagi hari. Menurut keumuman firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 184 di atas, saudara bisa membayar fidyah, tidak mengqadha. Akan tetapi jika punya kesempatan untuk mengqadha maka lebih baik mengqadha puasanya di lain hari. []
SUMBER: MUHAMMADIYAH