2. Pendamping Hidup
KITA mungkin pernah menyaksikan dalam kehidupan sehari-hari seorang suami yang ribut dengan istrinya. Pemicunya bisa macam-macam, mulai dari masalah ekonomi sampai pada tidak adanya saling pengertian dan saling menghargai. Hal itu terjadi, di antaranya karena si istri tidak bisa menjadi pendamping hidup yang baik bagi suaminya. Ia suka menuntut sesuatu di luar kemampuan suami untuk memenuhinya.
Akibatnya, yang terjadi adalah tudingan kepada suami bahwa ia tidak mampu memenuhi nafkah keluarga. Merasa dipojokan, suami membalas menuduh istrinya bahwa ia bukan istri yang baik karena tidak mengerti keadaan suami. Tidak jarang, keributan semacam ini yang berakhir pada perceraian.
Salah satu ciri wanita yang kurang kuat imannya adalah kesukaannya bermewah-mewahan. Sifat yang demikian itu dapat menggoncangkan dasar-dasar keluarga dan menjerumuskan suami pada perbuatan yang melanggar ajaran agama, seperti mencuri, menipu dan korupsi guna memenuhi tuntutan istrinya.
Pada kebanyakan masyarakat, wanita dianggap sebagai konsumen yang paling penting. Perkembangan mode busana dan kosmetika pada setiap pergantian tahun, bahkan bulan merupakan bukti kongkrit. Hal ini menelan sebagian besar nafkah keluarga. Budaya konsumerisme yang berkedok modernisasi telah merampas status dan identitas kaum wanita. Berapa banyak wanita yang telah menjadi “budak produk”. Ironisnya, mereka merasa bahwa dengan budaya konsumerisme, mereka kini telah maju dan menjadi manusia yang beradab.
Wanita shalihah tidak akan menuntut yang macam-macam dari suaminya. Ia menyesuaikan keinginan-keinginannya dengan kemampuan suaminya. Hal ini akan menimbulkan keseimbangan dalam keuangan keluarga dan pada gilirannya akan menimbulkan keseimbangan perekonomian masyrakat dan negara.
Imam al-Ghazali berkata,
“Hendaklah istri berhemat dalam membelanjakan rizki yang diberikan Allah kepada suaminya. Mendahulukan hak suami daripada hak dirinya sendiri, sia melayani suami setiap saat, mengasihi putra-putrinya, memperhatikan pakaian mereka, dan pandai menjaga lisannya.”
Seorang sastrawan, Usmu’I, bertutur,
“Saya tiba di sebuah dusun (desa). Di sana saya melihat seorang wanita yang sangat cantik, namun bersuamikan laki-laki yang buruk penampilan fisiknya. Saya merasa penasaran.”
“Apakah Anda rela menjadi istri seorang laki-laki seperti dia?” tanyaku pada wanita itu.
“Oh, ini lagi, Anda telah mengatakan sesuatu yang mestinya tidak Anda ucapkan.
Ketahuilah, mungkin dia baik ibadahnya kepada Allah, sehingga Allah menjadikan aku sebagai pahala untuknya. Atau mungkin karena ibadahku buruk, sehingga Allah menjadikan dia sebagai hukuman bagiku. Haruskah aku tidak rela atas apa yang telah dikehendaki Allah untukku?” Tutur wanita itu.
“Jawaban wanita itu sungguh membuat mulutku terkunci, lidahku kelu.”
Wanita shalihah akan mampu memerankan dirinya sebagai pendamping yang baik bagi suaminya. Ia menjadi penghibur di kala sedih, menjadi motivator ketika suaminya kehilangan semangat, menjadi penunjuk jalan di waktu buntu, menjadi penentram jiwa di saat gelisah, mengingatkan suaminya di saat lupa, membetulkan di waktu salah dan membantu suaminya mengamalkan ajaran Islam secara kaffah (menyeluruh). []
HABIS