Islam mewajibkan umatnya yang laki-laki untuk menghadiri Jumatan. Sesibuk apapun seorang Muslim, minimal sepekan sekali, dia akan mendapatkan siraman rohani dari khutbah Jumat tersebut.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan perhatian besar bagi Jumatan. Beliau mengajarkan berbagai macam adab, agar para peserta Jumatan bisa mendapatkan banyak pelajaran dari khutbah yang disampaikan khatib.
BACA JUGA: Jika Shalat tanpa Al-Fatihah, Tidak Sempurnalah Shalatnya
Di antara adab itu, beliau melarang peserta Jumatan untuk berbicara di tengah-tengah sedang mendengarkan khutbah Jumat.
Pada dasarnya, makmum tidak boleh berbicara ketika khatib sedang berkhutbah. Bahkan tindakan semacam ini bisa menggugurkan pahala jumatannya.
Namun di artikel ini kita akan membahas bagaimana hukumnya seseorang yang memiliki keterbatasan dalam mendengar (tunarungu) ketika dia jumatan. Apakah boleh ketika khutbah dia berdzikir saja?
Dijawab oleh Ustaz Ammi Nu Baits, ulama berbeda pendapat dalam masalah ini.
Pertama, makmum yang tidak mendengar khutbah imam ketika jumatan, boleh berbicara apapun. Baik karena posisinya yang jauh dari imam, sementara tidak ada pengeras suara, atau karena dia seorang tuna rungu.
Hanya saja, dianjurkan baginya untuk menyibukkan diri dengan dzikir atau membaca al-Quran atau membaca buku agama. Dengan catatan, dia tidak boleh membacanya terlalu keras, sehingga mengganggu orang lain.
Ini merupakan pendapat ulama madzhab hambali dan sebagian syafiiyah.
Al-Mardawi – ulama hambali – mengatakan,
يجوز لمن بعد عن الخطيب ولم يسمعه الاشتغال بالقراءة والذكر خفية وفعله أفضل
Boleh bagi orang yang jauh dari khatib dan dia tidak mendengarkan khutbah, agar dia menyibukkan diri dengan membaca al-Qura atau dzikir dengan pelan. Dan perbuatannya ini lebih baik (dari pada diam saja). (al-Inshaf, 2/294).
BACA JUGA: Berapa sih Jumlah Minimal Jamaah Shalat Jumat?
Keterangan lain disampaikan al-Buhuti – Ulama hambali –, beliau mengatakan,
فإن كان بعيدا عن الإمام بحيث لا يسمعه لم يحرم عليه الكلام لأنه ليس بمستمع لكن يستحب اشتغاله بذكر الله تعالى والقرآن والصلاة عليه صلى الله عليه وسلم في نفسه واشتغاله بذلك أفضل من إنصاته ويستحب له أن لا يتكلم
Jika dia jauh dari imam, sehingga tidak mendengar khutbah imam, tidak dilarang untuk berbicara. Karena dia bukan mustami’ (pendengar). Hanya saja, dianjurkan untuk menyibukkan diri dengan berdzikir, membaca al-Quran, atau membaca shalawat untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pelan-pelan. Dan itu lebih bagus dari pada dia diam. Dan dianjurkan agar dia tidak ngobrol. (Syarh Muntaha al-Iradat, 1/322).
Kedua, makmum tidak boleh bicara dengan kalam adamiyin (obrolan sesama manusia), artinya selain dzikir atau membaca al-Quran, atau bershalawat, atau membaca buku. Jika tidak, dia harus diam. Ini merupakan pendapat mayoritas Syafiiyah.
Dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, an-Nawawi – ulama syafiiyah – mengatakan,
اما من لا يسمعها لبعده من الامام ففيه طريقان للخراسانيين (احدهما) القطع بجواز الكلام (واصحهما) وهو المنصوص وبه قطع جمهور العراقيين وغيرهم ان فيه القولين فان قلنا لا يحرم الكلام استحب له الاشتغال بالتلاوة والذكر وان قلنا يحرم حرم عليه كلام الادميين وهو بالخيار بين السكوت والتلاوة والذكر هذا هو المشهور وبه قطع الجمهور
Bagi orang yang tidak mendengar khutbah, karena jauh dari imam, di sana ada dua pendapat para ulama khurasan,
Pendapat Pertama, boleh berbicara apapun.
BACA JUGA: Shalat Jumat di Hari Raya Idul Fitri, Bagaimana?
Pendapat kedua, dan ini yang ditegaskan as-Syafii, ini pula yang menjadi pendapat mayoritas ulama Iraq dan yang lainnnya, bahwa di sana ada 2 pendekatan,
Pertama, jika kita mengatakan boleh berbicara apapun, maka dianjurkan baginya untuk sibuk dengan membaca al-Quran dan dzikir.
Kedua, jika kita mengatakan, dia tidak boleh berbicara dengan kalam adamiyin (obrolan manusia), maka dia punya 2 pilihan, antara diam dan membaca al-Quran atau dzikir. Ini pendapat yang lebih masyhur dan ini pendapat mayoritas ulama.
(al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 4/524). []
Allahu a’lam.
SUMBER: KONSULTASI SYARIAH