Ta’aruf secara bahasa dari kata ta’arafa –yata’arafu– yang artinya saling mengenal. Kata ini ada dalam al-Quran, tepatnya di surat al-Hujurat.
“Hai manusia sesungguhnya kami telah menciptakan kalian dari seorang pria dan seorang wanita, lalu menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal (li-ta’arofu) …” (QS. al-Hujurat: 13).
Diambil dari makna di atas, ta’aruf antara lelaki dan wanita, berarti saling berkenalan sebelum menuju jenjang pernikahan.
Sebelum membahas ta’ruf lebih lanjut, ada beberapa hal yang perlu dibedakan.
- Ta’aruf: saling perkenalan. Umumnya dilakukan sebelum khitbah
- Khitbah: meminang atau lamaran, menawarkan diri untuk menikah
3 Nadzar: melihat calon pasangan.
Biasanya ini dilakukan ketika ta’aruf atau ketika melamar. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila seseorang di antara kalian ingin meminang seorang wanita, jika dia bisa melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah!” (HR. Ahmad 3/334, Abu Dawud 2082 dan dihasankan al-Albani).
Lalu Bagaimana Cara Ta’aruf yang Sesuai Syar’i?
Dalam hal ta’aruf, tidak ada cara khusus atau ketentuan bakunya. Inti dari ta’aruf itu yakni agar seseorang bisa menggali informasi soal calon pasangannya, tanpa melanggar aturan syariat maupun adat masyarakat.
Namun berikut beberapa catatan yang perlu diperhatikan terkait ta’aruf sebagaimana kami sitat dari Konsultasi Syariah.
Pertama. Soal Interaksi
Sebelum terjadi akad nikah, maka kedua calon pasangan, baik itu lelaki maupun wanita, statusnya adalah orang lain.
Sama sekali tidak ada hubungan kemahraman. Sehingga berlaku aturan lelaki dan wanita yang bukan mahram.
Mereka tidak diperkenankan untuk berdua-an, saling bercengkrama, dst. Baik secara langsung atau melalui media lainnya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,
“Jangan sampai kalian berdua-duaan dengan seorang wanita (yang bukan mahramnya), karena setan adalah orang ketiganya.” (HR. Ahmad dan dishahihkan Syu’aib al-Arnauth).
Setan menjadi pihak ketiga, tentu bukan karena ingin merebut calon pasangan anda. Namun mereka hendak menjerumuskan manusia ke dalam lembah maksiat.
Kedua. Luruskan Niat
Luruskan niat ta’aruf dengan i’tikad baik, yaitu ingin menikah. Bukan karena ingin koleksi kenalan, atau cicip-cicip, dan semua gelagat tidak serius.
Membuka peluang, untuk memberi harapan palsu kepada orang lain. Tindakan ini termasuk sikap mempermainkan orang lain, dan bisa termasuk kedzaliman.
Sebagaimana dirinya tidak ingin disikapi seperti itu, maka jangan sikapi orang lain seperti itu.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
“Kalian tidak akan beriman sampai kalian menyukai sikap baik untuk saudaranya, sebagaimana dia ingin disikapi baik yang sama.” (HR. Bukhari & Muslim)
Ketiga. Menggali Data atau Informasi Pribadi
Masing-masing dapat saling menceritakan biografinya secara tertulis. Sehingga tidak harus melakukan pertemuan untuk saling cerita.
Tulisan mewakili lisan. Meskipun tidak semuanya harus dibuka. Ada bagian yang perlu terus terang, terutama terkait data yang diperlukan untuk kelangsungan keluarga, dan ada yang tidak harus diketahui orang lain.
Jika ada keterangan dan data tambahan yang dibutuhkan, sebaiknya tidak berkomunikasi langsung, tapi bisa melalui pihak ketiga, seperti kakak lelakinya atau orang tuanya.
Keempat. Setelah Ta’aruf Diterima
Bisa jadi keduanya belum bertemu, mak bisa dilanjutkan dengan nadzar.
Dari al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu’anhu, beliau menceritakan,
“Suatu ketika aku berada di sisi Nabi shallallahu’alaihi wasallam, tiba-tiba datanglah seorang lelaki. Dia ingin menikahi wanita Anshar. Lantas Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bertanya kepadanya,
“Apakah engkau sudah melihatnya?”
Jawabnya, “Belum.”
Lalu beliau memerintahkan,
“Lihatlah wanita itu, agar cinta kalian lebih langgeng.” (HR. Turmudzi 1087, Ibnu Majah 1865 dan dihasankan al-Albani)
Nadzar bisa dilakukan dengan cara datang ke rumah calon pengantin wanita, sekaligus menghadap langsung orang tuanya.
Kelima. Dibolehkan memberikan hadiah ketika proses ta’aruf
Hadiah sebelum pernikahan, hanya boleh dimiliki oleh wanita, calon istri dan bukan keluarganya.
Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah bersabda,
“Semua mahar, pemberian dan janji sebelum akad nikah itu milik penganten wanita. Lain halnya dengan pemberian setelah akad nikah, itu semua milik orang yang diberi” (HR. Abu Daud 2129)
Jika berlanjut menikah, maka hadiah menjadi hak pengantin wanita. Jika nikah dibatalkan, hadiah bisa dikembalikan. Wallahu a’lam. []