SEJARAH adalah fakta. Jika ada sejarah yang disampaikan dengan kebohongan, maka bukan sejarah yang berbicara. Sejarah hanyalah lintasan masa yang tak mungkin lagi kita temui di masa depan. Maka saat sejarah terjadi, bungkamlah semuanya. Yang tersisa di masa depan hanyalah citra para penulis akan fakta yang terjadi di masa lampau.
Tulisan ini akan mengangkat sejarah yang dicitrakan oleh beberapa sejarawan mengena Baghdad dan masa keemasan Bani Abbasiyah. Perlu dikatakan demikian, agar pembaca tidak buru-buru mengakhiri pencarian akan keben
aran sebuah fakta. Gali terus, cari korelasi antar peristiwa, agar kebenaran yang kita terima, tidak terkontaminasi dengan penyakit bernama distorsi.
Baghdad adalah ibu kota dan kota terbesar di Irak. Kota ini terletak di wilayah Timur Tengah yang disebut ‘Cradle of Civilization’. Sejarah daerah yang subur ini bisa ditelusuri kembali hingga lebih dari 4.000 tahun lalu. Baghdad meliputi area seluas 254 mil persegi (658 kilometer persegi). Keindahan dan kemegahan ibu kota dunia abad pertengahan itu sudah terasa sejak kota tersebut didirikan pada tahun 146 H (762 M).
Sebanyak 100 ribu ahli bangunan, mulai dari arsitek, tukang batu, tukang kayu, pemahat, dan sebagainya dikerahkan untuk membangun Baghdad. Para pekerja itu didatangkan Khalifah dari berbagai wilayah, seperti Suriah, Mosul, Kufah, Basrah, hingga Iran. Dana yang dihabiskan untuk membangun Baghdad mencapai 3,88 juta dirham. Butuh waktu lima tahun untuk membangun kota Bagdad ini. Dalam waktu dua puluh tahun, Baghdad menjadi kota terbesar di dunia saat itu, itulah kota pertama yang jumlah penduduknya melampaui satu juta jiwa.
Bak sebuah benteng pertahanan, sekililing Baghdad dipagari tembok sebanyak dua lapis tembok yang besar dan tingginya mencapai 90 kaki. Di luar tembok dibangun parit. Seakan terinspirasi dengan Perang Khandaq pada zaman Rasulullah SAW, parit itu digunakan sebagai saluran air dan benteng pertahanan.
Selain itu, di tengah kota bertengger Istana Khalifah nan megah bernama Al-Qasr Az-Zahabi (Istana Emas). Keindahan dan kemegahannya menunjukkan kehebatan Dinasti Abbasiyah. Untuk mempertegas keislaman, di samping istana berdiri Masjid Jami Al-Mansur seluas 100 x 100 meter. Kubahnya menjulang tinggi ke langit setinggi 130 kaki. Kota Baghdad juga dilengkapi bangunan pengawal istana, polisi, tempat tinggal khalifah, pasar dan tempat belanja. Untuk menuju pusat kota Baghdad, para pengunjung bisa melalui empat gerbang.
Di sebelah Barat Daya ada gerbang Kufah, di arah Barat Laut terdapat Gerbang Syam, di Tenggara disediakan gerbang Basrah dan gerbang Khurasan terletak di arah timur laut. Di setiap pintu gerbang terdapat menara pengawas dan tempat beristirahat yang dihiasi ukiran-ukiran nan indah. Sebelum tutup usia, Al-Manshur juga sempat membangun istana Ar-Rufasah. Sebagai pendiri Baghdad, Khalifah menyebut kota itu sebagai Madinah As-Salam (Kota Perdamaian).
Setelah dibangun menjadi “kota lingkaran”, Baghdad oleh al-Manshur seakan disulap dalam satu malam menjadi kota terbesar di dunia dan tiada bandingannya. Di dalamnya terdapat banyak ulama dan cendikiawan. Al-Manshur mengumpulkan para ulama di Baghdad dari seluruh negara dan wilayah sehingga Baghdad menjadi induk dunia, tuan negara dan tempat lahirnya peradaban Islam pada masa Daulah Abbasiyah.
Kejayaan Literasi Abbasiyah
Zaman keemasan Baghdad terjadi selama masa kekhalifahan Harun al-Rasyid (789-809). Meskipun usianya kurang dari setengah abad, Baghdad pada saat itu muncul menjadi pusat dunia dengan tingkat kemakmuran dan peran internasional yang luarbiasa. Baghdad menjadi satu-satunya pesaing bagi Bizantium. Saat itulah Baghdad menjadi “Kota yang tiada bandingannya di seluruh dunia”.
Membincang zaman keemasan tidak sempurna jika belum menengok eksistensi perkembangan literasinya. Karena tak dikatakan zaman emas, jika tak menyertakan kebangkitan intelektual sebagai salah satu indikatornya. Kebangkitan intelektual di zaman ini tak lepas dari masuknya pengaruh dari luar, seperti Indo-Persia dan Suriah, India, dan yang paling penting adalah pengaruh Yunani.
Gerakan intelektual itu ditandai oleh proyek penerjemahan karya-karya berbahasa Persia, Sanskerta, Suriah, dan Yunani ke dalam bahasa Arab. Dimulai dengan karya mereka sendiri tentang ilmu pengetahuan, filsafat, atau sastra yang tidak terlalu banyak, orang Arab Islam, yang memiliki keingintahuan yang tinggi dan minat belajar yang besar, segera menjadi penerima dan pewaris peradaban bangsa-bangsa yang lebih tua dan berbudaya yang mereka taklukkan, atau yang mereka temui.
Berikut adalah point penting yang mesti kita pahami dari zaman keemasan Abbasiyah:
1. Perpustakaan besar Bait al-hikmah didirikan oleh khalifah al-Ma’mun di Baghdad yang kemudian menjadi pusat penerjemahan dan intelektual. Sebuah perpustakaan yang sangat bagus sekali yang tidak didapatkan contohnya di dalam kebudayaan Eropa Barat.
2. Para penerjemah yang pada umumnya adalah kaum Nasrani dan Yahudi bahkan penyembah bintang digaji dengan harga yang sangat tinggi.
3. Kebangunan intelektual dan kebangkitan kultural Islam ditandai terlebih dahulu dengan kerja besar yang serius, yaitu dengan menerjemahkan buku-buku klasik. Buku-buku yang ditejemahkan terdiri dari berbagai bahasa, mulai dari bahasa Yunani, Suryani, Persia, Ibrani, India, Qibti, Nibti dan Latin.
4. Sangat menarik untuk dikaji bahwa dalam menerjemhakan itu para penerjemah memasukan buah pikirannya dan unsur-unsur baru yang disesuaikan dengan nafas ke Islaman sehingga terjelmalah kebudayaan baru yang berbentuk dan bercorak khas kebudayaan Islam.
5. Ilmu-ilmu yang tercakup dalam gerakan penerjemahan ini adalah kedokteran, matematika, fisika, mekanika, botanika, optika, astronomi, dan filsafat serta logika. Di antara buku-buku yang diterjemahkan tersebut adalah karangan-karangan dari Galinus, Hipokritus, Ptolomeus, Euclidus, Plato, Aristoteles, dan lain-lain. Buku-buku tersebut kemudian dipelajari oleh ulama-ulama Islam.
6. Ilmuwan dan ulama Islam zaman silam bukan hanya menguasai ilmu dan filsafat yang mereka peroleh dari peradaban Yunani kuno, tapi mereka juga mengembangkan dan menambah serta mengkritisi karya-karya tersebut ke dalam hasil penyelidikan dan penelitian mereka sendiri dalam lapangan ilmu pengetahuan dan hasil pemikiran mereka dalam bidang filsafat dan logika. Dengan demikian, lahirlah para ilmuwan di samping ulama yang ahli agama juga ahli ilmu pengetahuan.
7. Pada zaman inilah lahir para ilmuwan besar seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, Al-Fazari, ibnu Rusyd, Khawarizmi, Battani, Alfarabi, dan empat Imam Madzhab.
Sumbangsih terhadap kebangkitan Eropa
Pertama, umat Islam menyelamatkan warisan kebudayaan klasik Yunani yang terancam akan kehilangan dan kemusnahannya sehingga penyelidikan-penyelidikan ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh Aristoteles, Galenus, Ptolemious dan lainnya tidak hilang.
Tugas penyelamatan, pengembangan dan penyelidikan yang dilakukan sarjana-sarjana Islam terhadap kebudayaan klasik Yunani itu tidak lebih kecil dari tugas mencipta yang asli. Sebab kalau ilmu pengetahuan yang asli itu hilang maka seperti yang dikatakan Hitti sarjana Barat asal Libanon itu, dunia akan tinggal miskin seolah-olah ilmu pengetahuan itu tidak pernah ada.
Kedua, umat Islam berjasa dalam mengolah dan mengembangkan kebudayaan klasik Yunani dengan penambahan unsur-unsur baru; ia kemudian menjadi sumbangan besar bagi Eropa sehingga benua ini memasuki babak baru dengan munculnya renaissance. Tonggak awal kebangkitan Eropa yang dinamakan dengan Renaissance, sedikit banyak lahir atas pengaruh Averroisme (Ar-Rusydiyyah) dan atas pengaruh penerjemahan karya-karya ilmiah ilmuwan Islam ke dalam bahasa Latin.
Tidak dapat dipungkiri memang banyak sekali sumbangan dan jasa umat Islam bagi kebangkitan dan kebangunan kebudayaan Barat, baik dilapangan Kedokteran, filsafat, ilmu pasti, kimia astronomi, seni sastra dan sebagainya. Jasa dan sumbangan Islam inilah yang menjadi dasar bagi munculnya masa renaissance., di Eropa pada abad 16, sehingga Eropa terbangun dari kegelapan dan kelelapan tidurnya.
Ketika peradaban Islam mulai mundur, diikuti dengan cara pandang umatnya yang sempit, dunia Barat (Eropa) mulai bangun dan beramai-ramai menerjemahkan karya-karya ilmuwan Islam ke dalam bahasa Latin dan mengkajinya. Suatu hal yang ironis, padahal penyebab kebangkitan dunia Barat itu berkat mengkaji kebudayaan muslim. Dunia Barat yang menyadari keterbelakangan kebudayaanya datang belajar ke Timur. Buku-buku yang ditulis dalam bahasa Arab (bahasa Al-quran) disalin kedalam bahasa Latin (bahasa standar Injil) melalui masa penerjemahan.
Renungan
Mungkinkah kemunduran umat Islam hari ini dikarenakan jauh dari ilmu pengetahuan? Umat lupa akan sejarah kejayaan literasi dunia yang terjadi pada era Abbasiyah. Sehingga kurang memberikan perhatian lebih kepada ilmu-ilmu yang dianggap “ilmu kafir”. Terjadilah dikotomi ilmu yang dipahami secara turun-menurun oleh generasi muslim. Itukah sebab stagnasi yang dialami umat akhir zaman ini?
Baghdad pernah menjadi saksi kebangkitan dan kemunduran peradaban Islam. Akankah sejarah terulang? Dulu Baghdad pernah porakporanda oleh tentara Mongol di abad 13, dan pada abad 21 Amerika dan sekutu memaksa dunia Islam mengembalikan ingatannya pada keruntuhan Abbasiyah oleh Mongol. Akankah sejarah terulang? Sehingga umat Islam kembali merebut peradaban ini dari dominasi Amerika dan keangkuhan Yahudi. Semoga. []
Bahan bacaan:
• Tamim Ansary, Puncak Bagdad, Sejarah Dunia Versi Islam, Jakarta: Zaman,
• Philip K. Hitty, The History of the Arabs, Jakarta: Serambi, 2014
• Syaikh Muhammad Al-Khudhari, Bangkit dan Runtuhnya Daulah Abbasiyah, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2016