Oleh: Idea Suciati, S.S
pemerhati masalah sosial budaya, tinggal di Jatinangor Sumedang
TANGGAL 30 Maret diperingati sebagai Hari Film Nasional. Tahun ini, pemerintah memperingati hari film nasional dengan mengusung tema “Merayakan Keberagaman Indonesia.” Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengungkapkan, tema tersebut diambil dengan harapan masyarakat Indonesia dapat menikmati sekaligus mengapresiasi keberagaman. (cnnindonesia.com, 6/3).
Saat ini dunia perfilman nasional bisa dikatakan mulai bergeliat. Pertama, banyak muncul sutradara-sutradara muda yang dianggap kompeten seperti Garin Nugroho, Riri Riza, Rudi Sudjarwo, Hanung Bramantyo hingga Nia Dinata.
Kedua, mulai masuknya nama-nama aktor atau aktris Indonesia yang terlibat dalam film Hollywood.
Ketiga, tingginya angka penonton bioskop, terutama kalangan remaja.
Salah satu yang menarik adalah maraknya kemunculan kembali film-film bertemakan Islam yang membawa warna tersendiri, karena Indonesia dengan mayoritas penduduk beragama islam. Sejak laris manisnya peluncuran film bertemakan Islam seperti film Ayat-Ayat Cinta, banyak sutradara dan produser film memproduksi film-film yang bertemakan Islam. Sebutlah film Ketika Cinta Bertasbih yang mampu menyedit penonton 5 juta lebih.
Kemudian film lainnya pun bermunculan seperti Perempuan Berkalung Sorban, Syahadat Cinta, Sang Pencerah, Dibawah Lindungan Ka’bah, Cinta Suci Zahrana, dsb. Film-film bertema keislaman dianggap sebagai pilihan yang ‘lebih baik’ karena sarat nilai keislaman, sebagai alat dakwah sehingga dapat membuat penonton mendapat pesan agama dengan cara yang menarik dan menghibur. Namun, benarkah demikian?
Sarat Nilai- Nilai Liberal
Film adalah sebuah karya estetis sekaligus sebagai alat informasi yang terkadang bisa menjadi alat penghibur, alat propaganda bahkan alat politik.
Beragamnya fungsi film tersebut membuat film tidak bisa dilihat dari satu sisi budaya saja, melainkan juga harus dilihat dari sisi sosial budaya, ekonomi maupun politik.
Dari sisi sosial budaya, film cukup efektif sebagai media penyampai pesan-pesan dan nilai-nilai. Sayangnya, film-film yang tayang kebanyakan sarat dengan nilai-nilai liberal yang berkiblat kepada budaya barat. Seperti budaya pacaran atau pergaulan bebas, belum lagi penampilan yang sangat mencerminkan budaya asing, mempertontonkan aurat, tabbaruj, dll.
Bagaimana dengan film yang bernuansa islam? ternyata tak banyak berbeda. Yang berbeda mungkin penampilan pemainnya saja yang lebih islami, atau disisipi peran ustadz atau dalil-dalil alquran.
Ketika difilmkan, justru seolah menjadi pelegalan atau pembenaran seperti ada hal-hal yang memberikan kesan bahwa pacaran itu boleh dalam islam. Lebih menyedihkan adalah beberapa film malah menampilkan islam dengan wajah yang buruk, seperti masalah poligami, kekerasan suami terhadap istri dsb.
Dari sisi ekonomi, harus diakui film adalah industri. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir, perfilman akan menjadi andalan sektor industri kreatif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi tidak langsung sekaligus sebagai media dalam melestarikan kebudayaan nasional (cnnindonesia.com 6/3).
Dengan kata lain, film sarat motif ekonomi, soal untung dan rugi. biaya pembuatan film tidaklah sedikit. Film Ketika Cinta Bertasbih contohnya. Film yang termasuk mega film yang pernah diproduksi oleh sineas Indonesia ini memakan biaya produksi mencapai 20 Milyar. Produser pasti tidak akan mau mendanai film yang tidak akan laku dijual. Hal ini menjadikan film-film bernuansa islami pun terjebak dengan kepentingan ekonomi ini.
Film membuat agama bersentuhan langsung dengan budaya populer. Bertemunya agama dan budaya populer menjadikan agama sebagai kemasan hiburan. Akhirnya agama pun pada gilirannya menjadi komoditas industri media (film). Maka tidak aneh jika pesan-pesan islami yang ditayangkan justru malah jauh bahkan bertentangan dengan nilai islam yang sebenarnya.
Fakta-fakta tersebut disebabkan karena diterapkannya sistem sekular di negeri ini. Yakni pemisahan nilai agama dari kehidupan. Nilai-nilai agama dalam hal ini islam pada hakikatnya diserahkan kepada individu dan tidak boleh campur tangan dalam aspek umum, termasuk soal film.
Walaupun muncul film bernuansa islami tapi tetap tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai budaya yang dianut dalam sistem demomrasi saat ini. yakni nilai kebebasan, selerti kebebasan berpendapat dan berperilaku. Mulai dari mempertontonkan aurat sampai adegan pornoaksi.
Film dalam Islam
Film adalah bagian dari seni dan budaya yang diatur dalam islam. Karena islam adalah sebuah the way of life yang menhatur seluruh aspek kehidupan termasuk soal film. Berikut ini beberapa aturab islam yang berkaitan dengan film.
Dalam kitab Masyrû’ Qânûn Wasâ’il al-I’lâm fî Dawlah al-Khilâfah (RUU Media Massa dalam Negara Khilafah) (2003) Syaikh Ghazzal menjelaskan pengaturan seni peran (drama), film, musik dan nyanyian dan lawak (tasliyah).
Seni peran bagi Syaikh Ghazzal boleh dalam Islam dengan sejumlah syarat. Kebolehannya antara lain didasarkan pada hadis sahih mengenai seorang lelaki Baduwi bernama Zahir bin Hiram. Zahir ini seorang yang buruk rupa, tetapi Nabi saw. mencintainya.
Suatu saat Nabi saw. menemui Zahir yang sedang menjual barang dagangannya. Nabi saw. pun memeluknya dari belakang, sedangkan Zahir tak melihatnya. “Lepaskan aku, siapa ini?” kata Zahir. Namun, setelah Zahir menoleh dan tahu siapa yang memeluknya, Zahir terus melekatkan punggungnya pada dada Nabi saw. Nabi saw. lalu berkata, “Siapa yang mau membeli budak ini?” Zahir menjawab, “Demi Allah, jadi Anda menganggap saya barang yang murah?” Nabi saw. menjawab, “Tapi, di sisi Allah engkau mahal harganya.” (HR Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Hibban dan al-Bazzar). (Ath-Thahtahwi, 1997: 125)
Setelah menukilkan riwayat di atas, Syaikh Ghazzal menyimpulkan bolehnya seni peran. Sebab, Nabi saw. telah memainkan peran sebagai pemilik budak, padahal sebenarnya beliau bukanlah pemilik budak (Zahir), dan beliau pun juga mengajak hadirin untuk membeli Zahir, padahal Zahir bukanlah budak yang sedang diperjualbelikan. (h. 18).
Namun, kebolehan seni peran ini dibatasi 5 syarat:
(1) tidak adanya ikhtilâth (campur-baur) pria-wanita;
(2) tidak adanya laki-laki yang menyerupai wanita atau sebaliknya;
(3) tidak memerankan malaikat, para nabi, Khulafaur Rasyidin, istri-istri Nabi saw. dan Siti Maryam;
(4) tidak membuat atau menggambar sesuatu yang bernyawa; dan
(5) tidak menampilkan kejadian Hari Kiamat atau sesudahnya seperti surga dan neraka (pasal 14, h.16).
Yang mirip dengan seni peran adalah lawak (tasliyah /tarfîh) yang juga boleh menurut Syaikh Ghazzal dengan syarat tidak adanya ikhtilâth pria wanita (pasal 17).
Syaikh Ghazzal juga menerangkan bolehnya musik dan nyanyian meski juga dibatasi dengan sejumlah syarat, misalnya: tidak disertai dengan nyanyian dan tarian wanita; tidak disertai tarian laki-laki yang bergerak gemulai; dan tidak adanya ikhtilâth pria-wanita (pasal 18).
Beliau menjelaskan pasal ini agak panjang lebar (perlu sekitar 10 halaman), karena masalah ini cukup pelik mengingat banyak perbedaan pendapat sehingga diperlukan penelusuran dan pentarjihan dalil-dalilnya secara mendalam (Al-Baghdadi, 1991; Al-Jazairi, 1992).
Dengan aturan islam diatas, Film akan menjadi alat untuk memelihara identitas keislaman masyarakat, menyampaikan pesan-pesan islam tanpa melarang unsur hiburan (entertainment) yang sehat dan syar’i.
Itulah film yang benar-benar islami. Bukan seperti sekarang, film malah menjadi alat destruktif untuk menghancurkan nilai-nilai Islam, dengan berisikan dan mempertontonkan nilai-nilai liberal walaupun berbalut nama dan judul islami. Wallahua’lam bi shawab. []