KETIKA Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan perintah shalat secara langsung dari Allah subhaanahu wa ta’ala, beliau belum mendapatkan perintah secara langsung arah shalat.
Setelah beberapa lama tinggal di Madinah, sekitar 16 atau 17 bulan kehijrahan Rasulullah ke Kota Suci itu, beliau bersama kaum Muslim melaksanakan shalat dengan menghadap ke arah Baitul Maqdis.
BACA JUGA: Ya Rasulullah, Coba Gambarkan Kepadaku Bagaimana Kondisi Baitul Maqdis?
Baitul Maqdis adalah nama yang diberikan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk Masjidil Aqsha. Namun istilah atau nama Baitul Maqdis juga bisa berarti lebih luas daripada Masjidil Aqsha yang ‘hanya’ seluas 14.4 Hektar.
Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ
“Maha suci Allah Azza wa Jalla yang telah memperjalankan hamba-Nya q pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami barakahi sekelilingnya.” (Al-Israa’: 1)
Jadi Baitul Maqdis adalah nama wilayah yang ikut diberkahi Allah yang meliputi sekeliling Masjidil Aqsha. Baitul Maqdis juga sering disebut ‘Al Haram Asy Syarif’.
Abdullah bin Umar, seorang sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, mengatakan :
“Baitul Maqdis adalah tempat para Nabi dan berkumpulnya mereka untuk beribadah. Tidak ada sejengkal pun tanah di tempat itu yang tidak dipakai untuk sembahyang oleh para Nabi atau para Malaikat”.
Itu artinya Baitul Maqdis adalah tempat yang suci.
Ketahuilah, Allah subhaanahu wa ta’ala menyebut daerah sekeliling Masjidil Aqsha yang ikut diberkahi Allah subhaanahu wa ta’ala dengan sebutan Baitul Maqdis. Dan orang Arab menyebutnya Al Quds. Sedang orang orang Yahudi dan masyarakat Internasional menyebutnya sebagai Yerusalem.
Suatu hari pada bulan Rajab, ketika sedang melaksanakan rakaat kedua shalat ‘Ashar di Masjid Bani Salamah, beliau menerima wahyu yang memerintahkan untuk menghadap ke arah Ka’bah ketika shalat.
قَدْ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ ۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا ۚ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ ۗ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ
“Sungguh, Kami (sering) melihat mukamu (Muhammad) menengadah ke langit. Maka, sungguh akan Kami palingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Alihkanlah mukamu ke arah Masjid Al-Haram. Dan di mana saja kamu berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu. Dan, sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil memang mengetahui bahwa (pemindahan kiblat) itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (QS Al-Baqarah : 144)
BACA JUGA: Kenapa Yahudi Ingin Taklukkan Baitul Maqdis?
Betapa gembira Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Muslim menerima perintah yang demikian. Karena itu, begitu usai shalat, ada seseorang yang dengan penuh semangat keluar dari masjid dan berseru gembira, “Demi Allah, aku bersumpah, aku telah melaksanakan shalat bersama Rasulullah dengan menghadap ke arah Makkah!”
Segera kabar pengalihan arah shalat tersebut tersebar ke seluruh penjuru Madinah. Kaum Muslim pun segera pula mengalihkan arah mereka ketika melaksanakan shalat. Mereka tidak lagi menghadap ke arah Bait Al-Maqdis, tetapi menghadap ke arah Makkah. []
Sumber: Pesona Ibadah Nabi/ Penulis: Ahmad Rofi’ Usmani/ September, 2015