ALKISAH tersebutlah seorang santri yang sangat berbakti kepada ustadznya. Ia turun tangan bahu membahu kala pesantren itu membangun masjid, ikut andil menggalang dana, bahkan hingga membantu urusan sehari-hari sang ustadz.
Singkat kata, sang santri tak lagi mondok (tinggal) di pesantren tersebut.
Suatu ketika, santri itu rindu dengan pondoknya. Ia kemudian memutuskan untuk berkunjung kesana.
Ketika tiba di sana, sang ustadz menyambutnya dengan ramah. Namun dari ekspresi dan obrolannya itu menandakan sang ustadz kurang mengenalinya.
Selepas pulang bersilaturahim, santri tersebut menangis sejadi-jadinya. Ia sedih. Ternyata ustadznya itu tak lagi mengenalinya, padahal dulu bisa dibilang sangat dekat dengannya.
Namun dibalik tangisannya itu, ia kemudian tersadar. Bukan itu yang membuatnya menangis, bukan soal pengakuan sang ustadz akan dirinya.
Ia takut jika semua amal kebaikan yang pernah dilakukan, tak mengenalinya nanti di akhirat kelak. Semua amal itu malah mempertanyakan siapa dirinya? Padahal ia yang mengamalkanya.
“Oh, mungkin saja selama ini niatku belum lurus dalam beramal, sehingga amalan demi amalan baik tak tercatat atas namaku,” renung si santri pilu.
Wajarlah jika sang ustadz lupa dengannya, karena disetiap tahunnya banyak santri baru yang keluar masuk pondok pesantren.
Tapi, Allah tak akan pernah lupa terhadap segala amalan kita. Kitalah yang lupa untuk meluruskan niat, mengihklaskannya dan menyesuaikannya dengan syariat.
Santri itu pun kemudian berdoa, “Ya Allah maafkan atas kelalaian hamba selama ini, semoga ini jadi awal bagi hamba untuk memperbaiki amal. Jadikanlah semua amalan baik hamba diterima, dan hapuskanlah segala amalan buruk yang sudah terlampaui.” Aamiin. []