Oleh: Khairul Amri Hatta, Mahasiswa Indonesia di Yaman
DISUATU Senin yang biasa, saat surya mewarnai langit, merambat lembut menembus jaring-jaring pentilasi, mengajak ayam berkokok lebih awal.
Dan di sana, dibalik pentilasi itu, aku terbaring pasrah takluk di hadapan godaan gairah kantuk yang membelengguku untuk tidak bangkit menyambut hari sekolah di pagi ini. Terlebih lagi tadi malam memang sudah kuniatkan untuk tidak hadir di upacara pagi nanti, maka tidak heran jika naitku ikut berkonspirasi dalam proyek `Tidak Ikut Upacara` yang disponsori oleh kantukku tadi.
Tapi jangan pernah menyangka kawan, jika aku ini termasuk dari golongan-golongan orang malas, pembolos, tidak disiplin atau apalah yang serupa. Ada sebuah benteng ilusi yang menghalagi antara aku dan upacara pagi ini, dan untuk melewatinya tidak serumit cara yang digunakan oleh Uchiha Itachi ketika hendak menembus benteng Konoha dengan jutsu-jutsunya ruwet itu, atau dengan senjata Harrp milik Amerika yang konon bisa mengasilkan Gempa buatan supaya bisa digunakan untuk menghancurkan benteng ilusi tersebut! Cukup dibutuhkan sedikit pengorbanan untuk mendobrak benteng tersebut, sebuah pengorbanan berat yang mempertaruhkan harga diri, mengintimidasi krakter serta menjajah mental kerupukku.
Aku tidak lain adalah seorang Murid di SD yang berangka `Sepuluh` pada saat itu. Seorang anak dengan keterbatasan keberaniaan dan mental untuk menerima sebuah ancaman hukuman absolut dari guru SD-ku jika tidak memakai sepatu hitam ke sekolah, peraturan sekolah tersebut diaktifkan mulai pada hari Senin pagi itu, selain pada waktu olahraga dilarang bersepatu selain warana hitam jika tidak ingin diberi sangsi. Bagiku hukuman fisik tidak masalah, tapi yang jadi masalah jika hukuman itu berwujud siksaan mental bernama `tak kuat rasa menahan rasa malu`.
Pada saat SD, malu menurutku adalah sebuah synopsis sensai yang mewakili ribuan penderitaan pisikologi yang nyaris melumpuhkan integritas dalam diri seseorang, bagiku jika disuruh berdiri dihadapan publik dengan hanya mengunakan satu kaki sambil mengibarkan kedua sayap kuping oleh konstribusi tarikan dari sang tangan merupakan saat-saat dimana aku harus berjuang keras menetralisasikan sisa-sisa elemen keberanian dari watak pemalu dalam diriku. Jika inisitif itu gagal, menelah mentah-mentah pahitnya rasa malu, dihadapan guru-guru, dihadapan nona-nona siswi SD yang kebetulan diama-diam mengagumiku ! Adalah sebuah konsekwensi perdana yang kuterima sebagai anak `Si Pemalu` ini.
Tetapi itu semua hanya hipotesa-hipotesa awal yang bisa dijungkir balikkan dengan sedikit usaha dan harapan. Sebenarnya sederhana saja jika ingin keluar dari Hukuman Absolut itu, karena aku hanya punya sepatu putih yang cocok dipakai disaat olahranaga, cukup dengan membeli sepatu berwarna hitam saja membuat diriku bisa bebas dari jajahan hukuman mental itu.
Namun tahukah kawan, sebab kedua mengapa proyek `Tidak Ikut Upacara` itu harus tetap direalisasikan? Sepatu putih yang kusebutkan tadi telah mengalami dekonstrusi warna menjadi hitam mengkilap. Aku tahu proses itu terjadi tadi malam, saat Aku menyusun proyek. “Belum ada uang Nak..” adalah lantaran klasik yang membuat sepatuku bermutasi hingga begitu.
Dengan bermodalkan sebatang Snowman Black yang bercairkan tinta permanen Orangtuaku menyulap sepatuku menjadi hitam seperti baru lagi. Karena untuk menghindari desakan orangtu supaya hadir di upacara, aku merelakan diri memakai sepatu baru-diwarnai- itu, sepatu hitam yang sejatinya berbeda tapi jika dipikir-pikir sama.
Sebenarnya ada kekekwaritan jika kalau hal ini ketahuan oleh Guru SDku, malu kalau-kalau warna hitamnya luntur tanpa sepengatahuannku, dihadapan teman-temanku. Tetapi ada hal terpenting yang kudapat pada hari itu, sebuah pelajaran moral yang diam-diam meresap ke dalam dadaku, menamparku hingga aku sadar bahwa kadang kala kita harus berlapang dada dengan keterbatasan kita, tidak memaksakan kehendak serta berambisi, terbius oleh gemerlapnya material.
Tidak jarang Aku senang bercerita kepada orangtua, tentang bahagianya diriku jika mempunyai sepatu baru, mainan, pakaian, dan semua yang kuinginkan. Walau begitu Orangtuaku sangat super rajin mengipas jauh-jauh gumpalan asap syahwat hedonis dikepalaku, yang nyaris membauatku lumpuh untuk menyadari makna `Keterbatasan Materi` seseorang.
Sebuah pendidikan moral yang berwujud. Bersyukur atas apa yang telah dikaruniakan oleh Sang Maha pemberi Rezeki, yang memantapkn hentakkan langkahku menuju upacara pagi itu bersama sepatu hitam baruku. Dengan bersembunyi dibalik selimut malas hanya karena ketidak mampuan memiliki sepatu hitam baru adalah tidakkan seorang hamba kerdil yang menghianati eksistensinya dihadapan Takdir.
Padahal kita semua tahu bahwa semua itu adalah Aksesoris-Aksesoris belaka, dari sebauh kehidupan fana yang bernama dunia, tetapi betapa sedikit yang tersadar mangapa kehidupan ini disebut dunia? Tidaklah kehidupan ini disebut dunia melainkan karena Adnaa ( dalam bahasa Arab berarti: sangat rendah & Hina). Dan kehidupan sebenarnya ada di Akhirat sana. []