Oleh: Alya Adzkya, muallifahadzkya5198@gmail.com
LIBURAN yang ditunggu-tunggu pun tiba. Setelah hanya bisa gigit jari melihat kembang api tahun baru dari balik tembok ma’had dengan setumpuk buku menghadapi ujian, akhirnya hari kebebasan itu datang. Hilang semua penat setelah berminggu-minggu berkutat dengan berlembar-lembar buku dan soal. Lagi pula, siapa yang tak senang liburan?
Begitu pula dengan santri kita yang satu ini. Kebebasan dari segala peraturan yang mengekang sudah terbayang di pelupuk mata. Beribu planning liburan telah tersusun rapi. Dengan semangat, Santri kita melangkah meninggalkan ma’hadnya untuk berlibur. Sebut saja ia, Rizky. Rizky dan teman-teman seangkatannya berencana untuk jalan ke sebuah mall di kotanya.
Singkat cerita, setelah asyik bermain di mall tersebut mereka pun pulang. Di angkot, mereka asyik ngobrol. Tiba-tiba, salah seorang penumpang bertanya pada mereka.
“Sekolah di mana, Dik?”
Keceriaan mereka lenyap seketika demi mendengar pertanyaan itu. Mereka saling pandang, sedikit menimbang akan seperti apa jawaban yang akan didapat sang penanya tadi. Akhirnya, setelah beberapa lama, salah satu dari mereka angkat suara.
“Di pesantren, Pak…”
* * *
Nah, …pernah nggak mengalami kejadian seperti di atas?Ketika ada seseorang yang bertanya, tentang status kesantrian kita, maka apakah jawaban kita?Mengangguk dengan mantap dan pasti, atau justru hanya tertunduk malu tak mau mengakui?
Pertanyaan besar muncul karena kasus yang satu ini. Kebanyakan para santri, tidak mau mengakui identitasnya sebagai santri. Pertanyaan besarnya adalah: MENGAPA?
Mengapa kebanyakan dari kita tak mau mengakui status kita sebagai seorang santri?
Ada dua kemungkinan atas pertanyaan ini. Pertama, mungkin saja si santri malu mengakui identitasnya sebagai santri, karena merasa perilaku serta akhlaknya belum pantas dilihat sebagai santri. Kedua, mungkin saja si santri malu mengakui identitasnya sebagai santri, karena takut di sangka kuper, gaptek, kampungan dsb…
Nah, kalau dirimu termasuk seorang santri yang malu mengakui kesantriannya karena merasa belum menjadi santri seutuhnya, ada baiknya kita memperbaiki akhlak serta tingkah laku kita. Karena, seorang santri adalah cermin bagi masyarakat sekitarnya. Dan ingat, kemana pun kita melangkah nama besar pesantren selalu ada di pundak kita.
Dan kalau ternyata kita termasuk seseorang yang malu mengakui kesantriannya karena takut di sangka kuper, gaptek, dan beragam sebutan tak mengenakkan lainnya, ada baiknya kita intropeksi diri kembali. Tak semua hal di pesantren itu, buruk. Ada banyak hal yang kita dapatkan di pesantren yang belum tentu bisa kita dapatkan di luar pesantren. Memang di beberapa bidang, kita mungkin agak tertinggal ketimbang yang lain. Tapi justru lebih banyak hal yang membuat kita unggul dan memiliki nilai plus di mata masyarakat.
Di balik semua itu, adakah santri yang saat liburan dengan bangga memperkenalkan dirinya sebagai seorang santri?Ada! dan santri yang seperti itu mudah di jumpai karena jumlahnya memang banyak. Tapi di sisi lain, berapa banyak santri yang tiba-tiba berubah ketika liburan? Tak mau mengakui identitasnya sebagai santri dan malah bertingkah laku jauh dari etika pesantren.
Dimanapun kita berada, kita tetaplah santri. Status kita tidak akan berubah begitu saja hanya karena liburan beberapa hari. Kita tetaplah santri, maka dari itu jagalah sikap kita dimanapun kita berada. Karena setiap langkah kita, membawa nama besar ma’had kita. Setiap perilaku kita menentukan nama baik ma’had tempat kita menuntut ilmu.
Nah, …seharusnya kita bangga menjadi seorang santri. Bangga dengan semua pendidikan yang kita dapatkan dari ma’had tercinta ini serta bangga akan semua wawasan yang kita dapatkan di ma’had ini. Seorang santri akan menyadari bahwa dirinya santri hanya jika ia percaya diri untuk mengatakan dirinya itu santri. Perilakunya pun, akan mengikuti pengakuan lisan dan hatinya. Dan, ketika ia bangga akan kesantriannya, maka ia akan bangga pada pesantrennya sendiri. Tidak menolah ke sekolah lain, meski ada banyak berita yang masuk ketelinganya.
Satu hal yang harus di tanamkan dalam jiwa dan pikiran kita,
“Jangan pernah bertanya apa yang telah pesantren berikan pada kita.Tapi, tanyalah apa yang telah kita berikan untuk pesantren.” []
Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri.