Oleh: Ustadz Felix Y Siauw
SEMUA orangtua pasti ingin dikagumi oleh anak-anaknya, dibanggakan oleh anak-anaknya, disebut-sebut sebagai yang menjadi inspirasi dari mereka.
Dulu saat saya masih SMP, saat banyak anak lelaki berlomba mentato diri, memakai anting di telinga kiri, saya sama sekali tak tertarik ikut.
Jawaban saya sederhana, “Nanti kalau kita satu saat nanti menikah, lalu punya anak, apakah kita mau anak kita melihat kita seperti ini?”, begitu saya beretorika.
Jelas seorang anak tak bangga punya ayah yang berpenampilan buruk, dengan tato, rokok, dan anting-anting, pekerjaannya maling. Saya tak ingin jadi seperti itu didepan anak-anak.
Tapi kadang tanpa sadar, kita sudah mengajarkan anak kita untuk tidak bangga dengan ayahnya. Yakni dengan mempertahankan maksiat, lalu diperlihatkan pada anak-anak.
Sayapun masih berusaha agar anak-anak saya bangga pada ayah mereka, agar satu saat saya bisa jadi seorang yang berpengaruh baik dalam kehidupan mereka.
Kemarin di meja makan, anak-anak saya berdebat satu sama lain, biasa debat anak kecil, yang tak punya mutu. Ibunya menegur agar jangan berdebat yang tak penting.
Lalu Koko Shifr menanggapi ibunya, “Abi juga pernah debat sama abu-abu itu di tv”. Lalu ibunya melanjutkan, “tapi kan itu debat untuk membela Islam, bukan debat tak penting”. Anak-anak hanya nyengir.
Saya sampaikan, “Kalau koko Shifr sama Ghazi mau jadi apa nanti, seperti Abi atau seperti abu-abu itu?. “Jadi seperti Abi lah, masak kayak abu-abu itu, dia lucu, nggak tau apa-apa”, serempak mereka.
Lalu saya sampaikan, “Makanya banyak baca buku, ngaji yang baik, shalat dan baca Al-Qur’an jangan lewat, jangan debat kecuali untuk bela Islam. Kalau nggak, nanti kamu bakal jadi seperti abu-abu itu”, pesan saya.
Mereka langsung nurut, lanjutkan makan, dan tak debat lagi di hari itu. Sepertinya takut kalau berakhir seperti abu-abu yang di tv itu. []