Oleh: Awang Blackdog
“JADI jumlah total yang terkumpul berapa, Pak Cik?” tanya Sorte, pemuda 26 tahun yang tiba-tiba saja membuyarkan lamunan Pak Cik yang sedari tadi menatap ke arah kotak amal surau yang terbuat dari kaca bekas yang dirangkai dengan empat bilah kayu keropos.
Pak Cik, pria paruh baya dengan rambut tipis yang separuhnya adalah uban ini tak menjawab pertanyaan bendahara surau. Ia yang didaulat menjadi ketua pengurus tempat ibadah tertua di Kampung Rakik itu menanggapi pertanyaan Sorte hanya dengan mengangkat kedua bahu sambil geleng-geleng kepala.
“Karpet, mikrofon beserta sound system untuk surau sudah dibeli kemarin pagi, Pak Cik. Total pengeluaran minggu ini berjumlah sebesar sembilan ratus empat puluh ribu rupiah. Sekarang tinggal mencari dana untuk membeli kubah, mimbar serta memasang keramik di teras surau,” sambung Sorte.
Pak Cik yang masih terlihat resah kemudian mengeluarkan beberapa kaset tape dari tas jinjingnya, “Kamu putar kaset ini sebelum azan.”
Begitulah, dalam waktu enam bulan ini pengurus Surau Guranda terus mencari cara agar tempat ibadah tertua di Kampung Rakik itu bisa segera selesai proses pemugarannya. Maklum, beberapa bulan lagi Ramadhan akan segera masuk. Persiapan harus segera dikebut agar tak kusut.
*****
“Sebagai umat muslim yang baik, marilah kita berlomba-lomba untuk bersedekah ke surau. Jangan pernah takut kekurangan harta benda, karena setiap apa yang anda sumbangkan akan dibalas berkali-kali lipat,” demikian suara rekaman penceramah yang terdengar dari speaker surau di sore ini. Seperti arahan dari Pak Cik, Sorte dengan sangat rutin memutar kaset yang telah diberikan ketua pengurus tersebut. Satu tujuan, agar warga kampung tergerak hatinya untuk bersedekah.
Walaupun tak terlalu banyak, namun saran dari Pak Cik ternyata cukup ampuh menarik minat warga untuk menyumbangkan uang ke surau lapuk tersebut.
“Bapak-bapak para Jamaah Jumat yang berbahagia, total uang masuk untuk Surau Guranda pada minggu ini berjumlah dua ratus lima puluh empat ribu rupiah. Adapun yang telah mewakafkan hartanya, pertama dari Hamba Allah dengan bersedekah sebesar lima puluh ribu rupiah. Hamba Allah ini adalah anak kedua dari pasangan Rohib dan Miun yang berprofesi sebagai pegawai honorer di Dinas Sosial, berambut keriting, bermata sipit dan memang sangat suka bersedekah. Kemudian ada Hamba Allah yang bersedekah sebesar tiga puluh ribu rupiah. Uang tersebut ditujukannya untuk arwah almarhumah ibunya yang bernama Hayati yang meninggal dunia dua bulan yang lalu,” jelas Sorte di depan para Jamaah Jumat yang berjumlah sekitar empat puluh orang lebih.
Usai Shalat Jumat, Pak Cik dan Sorte bergegas untuk menghitung infak. Hasilnya tidak memuaskan. Uang yang terkumpul tak lebih dari seratus ribu rupiah.
“Berarti tekor kita, Pak Cik. Sebentar ini baru saja saya menyerah honor khatib sebesar dua ratus ribu,” keluh Sorte.
“Huh! Berarti total saldo surau saat ini hanya berjumlah empat ratus enam puluh ribu rupiah?” tanya Pak Cik dengan suara resah.
“Ya, Pak Cik. Besok malam rencananya juga akan diadakan ceramah singkat. Kita mengundang ustad yang cukup terkenal dari kampung sebelah. Mudah-mudahan warga tertarik untuk datang. Cuma Pak Cik, honor untuk ustad itu sebesar dua ratus lima puluh ribu. Bagaimana menurut Pak Cik?”
“Mm..ya sudah. Semoga saja banyak yang hadir dan bersedekah,” jawab Pak Cik datar.
Malam minggu itu Surau Guranda telah siap untuk menggelar ceramah singkat. Namun setelah beberapa menit selepas Shalat Isya berjamaah, warga yang hadir hanya hitungan jari. Walau begitu, acara tetap lanjut. Apa boleh buat, ustad sudah diundang dan menyempatkan datang.
“Pak Cik, infak yang terkumpul cuma dua puluh ribu rupiah. Jadi setelah dihitung-hitung, saldo surau tinggal dua ratus tiga puluh ribu,” suara Sorte terdengar lemah tak berdaya.
“Huh, kurang apalagi sih surau ini? Mikrofon, sound system, kipas angin dan karpet sudah baru semua. Begini saja Te, besok kamu beli cat tembok, pengharum ruangan dan jangan lupa kaset rekaman ceramah itu diputar setiap hari sebelum azan,” perintah Pak Cik.
Tiga hari kemudian, tampilan surau sudah sangat memukau. Sore ini Sorte kembali berbincang bersama Pak Cik. “Beres Pak Cik. Dinding sudah dicat, itu juga dipasang pengharum ruangan dan Pak Cik dengar sendiri, rekaman ceramah sedang saya putar.”
Usai menghela napas panjang, Pak Cik berkata dengan suara lirih, “Semoga..”
*****
Ternyata dan ternyata, trik yang dipakai Pak Cik dan Sorte tak juga membuahkan hasil yang menggembirakan. Shaf shalat yang biasanya mencapai dua baris, sekarang hanya satu baris saja. Itupun diisi oleh orang-orang jompo yang sudah diancam kematian.
“Pak Cik, saldo surau tinggal delapan puluh ribu rupiah. Kemarin pas beli cat, si pedagangnya tidak mau memberi diskon. Padahal sudah saya katakan kalau cat ini untuk surau, tapi dia tetap memasang harga seperti biasanya,” ujar Sorte usai melaksanakan Shalat Isya berjamaah.
Mendengar keluh kesah bendahara surau itu, Pak Cik yang sedang duduk sambil bertopang dagu dan angguk-angguk kepala kemudian berkata, “Tak ada jalan lain. Hal ini mesti dilakukan..”
“Apa Pak Cik?” tanya Sorte penasaran.
“Turun ke jalan.”
“Maksudnya?”
“Ya. Besok kamu sediakan kardus bekas mie instan, lalu ajak anak-anak untuk berdiri di pinggir jalan depan surau ini. Kita harus jemput bola!” kata Pak Cik berapi-api.
Dan begitulah, esok hingga beberapa hari kemudian, aksi minta sumbangan pun dijalankan oleh Sorte. Di sana tampak empat orang bocah yang ikut membantu memegang kardus bekas mie instan.
“Pak Cik, ini…” kata Sorte sambil menumpahkan kardus yang berisi recehan.
“Tak ada uang kertasnya?” tanya Pak Cik heran.
“Ada. Cuma tak sampai lima ribu, dan itupun sudah dibelanjakan sama bocah-bocah yang membantu saya meminta sumbangan.”
Setelah sepuluh menit berlalu, recehan hasil minta sumbangan di pinggir jalan sudah selesai dihitung. Hasilnya mengecewakan. Tak sampai dua puluh ribu rupiah.
“Sudah satu minggu berdiri di pinggir jalan, tapi hasilnya cuma segini?” kata Pak Cik sambil menampung recehan itu di kedua tangannya.
“Mungkin para warga sedang kesulitan ekonomi, Pak Cik. Jadi sabar saja dulu,” Sorte mencoba menenangkan ketua pengurus surau.
“Ini sudah berbulan-bulan sedekah dan sumbangan untuk surau begitu minim, Te. Lihat, surau makin sepi, dan keadaan ini pun berimbas buruk terhadap jumlah sedekah yang terkumpul. Bagaimana surau ini bisa tercelak dan megah kalau saldo surau kita ini kian hari kian menipis? Cobalah kamu cari cara agar surau ini bisa ramai lagi seperti puluhan tahun yang lalu,” kata Pak Cik.
*****
Satu bulan lagi Ramadhan akan datang. Di sudut surau, Pak Cik duduk termenung sendirian dengan wajah resah. Ya, ia benar-benar kesepian, soalnya Sorte telah mengundurkan diri sebagai bendahara surau. Pemuda berambut keriting tersebut lebih memilih untuk bekerja di sebuah kantor percetakan daripada harus mengurus surau yang sedang dilanda krisis moneter ini.
“Assalamualaikum..” suara datang dari pintu masuk surau.
“Waalaikumsalam..” jawab Pak Cik.
“Ini benar Surau Guranda, Pak? Saya Pono, orang yang tadi menelpon Bapak,” kata pria bergaya parlente sambil berjalan ke arah Pak Cik.
“Ya, benar sekali,” Pak Cik menyambut jabat tangan si pria.
“Langsung saja, Pak Cik. Jadi bagaimana tentang hal yang kita bicarakan di telepon tadi?”
“Okay, seperti yang sudah disepakati ya. Totalnya delapan puluh juta rupiah,” sambut Pak Cik.
“Ya, Pak Cik. Ini sudah saya bawa uangnya,” kata Pono sambil menyerahkan tas jinjing berwarna hitam yang berisi uang.
“Mm..saya percaya, jadi sepertinya tidak perlu dihitung lagi jumlah uang di dalam tas ini.”
Setelah Pak Cik menerima uang, ketua pengurus surau ini kemudian menyerahkan sebuah kunci dan selembar sertifikat tanah kepada Pono. Ya, mau bagaimana lagi, Pak Cik memutuskan untuk menjual surau yang sudah bangkrut itu. Kabarnya, si pria parlente adalah seorang pengusaha sukses di bidang hiburan dan berbagai macam bisnis perkreditan yang sengaja membeli Surau Guranda beserta tanahnya untuk dijadikan tempat karaoke dan hiburan keluarga.
*****
“Kenapa dijual, Pak Cik??” tanya Sorte pada mantan ketua pengurus surau yang sedang sibuk membersihkan sepeda motor barunya.
“Ya sudahlah, Te. Mana bisa surau beroperasi kalau tidak ada sedekah dari warga. Toh saldonya juga sudah nol. Sekarang kamu fokus saja dengan pekerjaan barumu itu. Kalau mau beribadah kan ada mesjid di ujung sana,” jawab Pak Cik dengan santainya.
“Ya, mau bagaimana lagi. Jemaahnya tak ada, sedekah pun juga,” timpal Sorte.
“Eh, tapi ngomong-ngomong, itu mesjid yang di ujung sana kok ramai terus ya? Apalagi Pak Cik dengar kalau infak dan sedekahnya bisa mencapai dua juta rupiah setiap harinya. Apa ya rahasianya?”
Sambil tersenyum, Sorte menjawab, “Nah, sebenarnya trik dari mesjid di ujung sana itu yang mau saya bicarakan sama Pak Cik, tapi mau bagaimana lagi, toh surau juga sudah dijual.”
“Memangnya mesjid itu pakai apa? Kok bisa ramai?”
“Begini Pak Cik, apa yang dilakukan pengurus mesjid di ujung sana tidaklah ribet dan juga tidak menghabiskan biaya yang banyak. Simpel saja, mereka memasang WiFi dengan kecepatan internet yang super ngebut di ruangan mesjid.” []
(Note : Salam, pembaca Islampos. Beberapa waktu lalu saya menerbitkan buku kumpulan cerpen bertema spiritual (secara indie). Buku yang berjudul “Matinya Para Pembunuh Setan” ini memuat 19 cerpen. Cerita yang dihadirkan ibarat mengupas bawang, berlapis lapis, multi makna, multi pesan, membuat berpikir, bertanya tanya hingga menemukan. So, bagi yang berminat silakan kirim E-mail ke awangblackdog@gmail.com.
******
Tentang Penulis
Penulis yang bernama asli Wahyu Alhadi ini adalah seorang penyuara melalui karya tulis dan musik. Tulisannya pernah dimuat di Pikiran Rakyat, Singgalang, Haluan, Padang Ekspres dan beberapa surat kabar dan situs online di Indonesia. Adapun karya-karya yang ditulis biasanya mengangkat isu-isu terkait tema kehidupan, sosial, budaya dan spiritual. Penulis juga telah menerbitkan sebuah buku kumpulan cerpen yang berjudul “Matinya Para Pembunuh Setan”.
Alamat lengkap : Komplek STM Polo Pasa, Simpang SMP 28 Padang. RT 001/RW 002 Kelurahan Korong Gadang, Kecamatan Kuranji, Padang, Sumatera Barat (Kode Pos 25156)