TANYA: Ada beberapa pendapat yang menyebut bahwa bank syariah ternyata tidak sesuai syariah, benarkah?
JAWAB: Dikutip dari situs MUI, Dr Oni Sahroni selaku Dewan Syariah Nasional MUI menjelaskan bahwa Insya Allah, bank syariah on the track. Setiap fatwa yang menjadi rujukan produk berdasarkan ijtihad kolektif DSN MUI dan otoritas fatwa internasional.
Setiap kekurangan–yang lazim terjadi dalam bidang lain terus diawasi dan diperbaiki agar patuh syariah, agar terus beramal menebarkan kebaikan. Kesimpulan ini bisa dijelaskan dalam poin-poin berikut:
Pertama, pada umumnya, konsep produk bank syariah sudah berdasarkan fatwa DSN MUI yang dikeluarkan setelah kajian panjang dalam focus group discussion yang dilakukan oleh DSN MUI (aspek syariah), DSAS (aspek akuntansi syariah), regulator, para praktisi, dan Mahkamah Agung.
BACA JUGA: Kontribusi Bank Syariah Bagi UMKM di Era New Normal
Dengan ijtihad kolektif ini, diharapkan setiap fatwa tersebut tepat dan terhindar dari kesalahan.
Kedua, berdasarkan ijtihad kolektif otoritas fatwa Internasional seperti Standar Syariah Internasional AAOIFI di Bahrain, Lembaga Fikih OKI di Jeddah, dan Lembaga Fikih Rabithah Alam Islami di Makkah yang menjadi referensi otoritas fatwa di dunia.
Lembaga ini menghimpun para ahli muamalah, seperti Syekh Nidzam Yaqub (Bahrain), Syekh Abdu Sattar Abu Gudah (Saudi), Syekh Abdurrahman Athram (Saudi), Syekh Ali al-Gari (Saudi), Syekh Husein Hamid Hasan (Mesir), dan banyak lagi ulama internasional lainnya.
Ketiga, secara umum, metode ijtihad DSN MUI sama dengan ijtihad Lembaga Fatwa Internasional tersebut sebagaimana digariskan ulama ahli ushul, dengan memastikan setiap fatwa memiliki landasan, baik Alquran, hadis, ijma, urf tujjar, maslahat dengan menelaah referensi klasik seperti kitab tafsir ayat ahkam, syarah hadis muamalah, fikih muqaran, aqdiyah wa nawazil, keputusan otoritas fatwa internasional. Jika fatwa DSN diadopsi menjadi regulasi, menjadi mengikat.
Keempat, di antara contoh fatwa DSN MUI tersebut adalah:
(a) Bank syariah boleh menarik denda keterlambatan dari nasabahnya dalam akad murabahah dengan syarat pelakunya adalah nasabah mampu yang menunda pembayaran.
Denda diperuntukkan sebagai dana sosial, sebagaimana Fatwa DSN MUI No.17/DSN-MUI/IX/2000 dan standar syariah internasional AAOIFI tentang Murabahah.
Dan sebagaimana hadis Rasulullah SAW:
“Menunda-nunda pembayaran utang yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman.” (HR Jama’ah).
(b) Jika terjadi transaksi dengan harga dan barang, maka serah terima sah, baik dengan menerima fisiknya atau nonfisiknya, walaupun fisik belum diterima, tetapi bisa memanfaatkannya.
Al-Khatib menjelaskan, “Ketika syariat Islam ini mewajibkan serah terima dalam setiap transaksi itu tanpa menjelaskan mekanismenya, maka yang menjadi rujukan adalah tradisi pelaku pasar.” (Al-Khatib, Mughnil Muhtaj, 2/72).
Kelima, dalam praktiknya bank syariah ini belum sempurna dengan alasan beragam, di antaranya karena keterbatasan regulasi, pajak, operasional, SDM, nasabah.
Pada umumnya, kekurangan tersebut minor, dan tidak sebanding dengan total produk yang sesuai syariah.
Sesungguhnya, kekurangan terjadi dalam bidang-bidang lain seperti keluarga, seorang ayah dengan tanggung jawabnya mungkin belum sempurna menunaikannya, begitu pula sang ibu.
BACA JUGA: Awal Mula Berdirinya Bank Syariah di Indonesia
Menanamkan iman pada anak, menanamkan adab dan sakinah pada keluarga, menyediakan waktu yang cukup untuk mereka, hingga kondisi terkini anak-anak, menunjukkan ikhtiar yang masih jauh dari kesempurnaan.
Namun, di tengah dinamika tersebut, pilihan yang tepat itu melanjutkan dan memperbaiki yang kurang-kurang agar menghadirkan sakinah dan anak-anak saleh dalam keluarga.
Kaidah kebertahapan ini sebagaimana penegasan Khalifah Umar bin Abdul Aziz saat anaknya, Abdul Malik berkata kepadanya,
“Wahai ayah, mengapa berbagai hal tidak engkau laksanakan secara langsung? Demi Allah, aku tidak peduli bila periuk mendidih yang dipersiapkan untukku dan untukmu dalam melakukan kebenaran.”
Khalifah menjawab:
“Wahai anakku! Jangan tergesa-gesa! Sesungguhnya Allah menghapus keharaman khamr di dalam Alquran dua kali, sampai diharamkan oleh-Nya dikali yang ketiga. Dan aku takut jika aku ajak manusia ke dalam kebenaran sekaligus, mereka akan meninggalkannya sekaligus dan menjadi fitnah.” (Al-Muwafaqat, asy-Syatibi 2/94).
Semoga Allah memberikan istiqamah kepada para bankir syariah. Wallahu a’lam. []
SUMBER: MUI.OR.ID