ACEH—Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKUB) Provinsi Aceh mengaku kaget dengan rilis SETARA Institute yang menyebut Aceh termasuk salah satu kota intoleran.
Menanggapi survey tersebut, Ketua FKUB Aceh Nasir Zalba mengatakan penelitian SETARA Institute yang memasukkan wilayahnya sebagai kota intoleran tidak melihat lebih dekat kehidupan antar umat beragama masyarakat Aceh.
BACA JUGA: Setara Institute Sebut Banda Aceh dan Jakarta Masuk Kota Intoleran, Ini Kata Anies Baswedan
FKUB mengatakan toleransi beragama di daerah istimewa tersebut berlangsung kondusif.
“Memang pernah terjadi konflik di Singkil tahun 2015, namun kejadian itu tidak bisa jadi ukuran karena tak mempengaruhi toleransi beragama di Aceh,” kata Nasir seperti dikutip Anadolu pada Senin (10/12/2018) di Jakarta.
Nasir mengatakan Kementerian Agama Kota Banda Aceh bersama FKUB Banda Aceh pada 2018 mendeklarasikan Banda Aceh sebagai Kota ramah dan sangat kondusif dalam kehidupan antar umat beragama.
Deklarasi itu ditunjang dengan keharmonisan antara umat Islam, Katolik, Budha, Hindu dan lain sebagainya di Aceh.
“Banyak saudara-saudara non-Muslim yang happy tinggal di Aceh,” jelas dia.
Nasir menambahkan Banda Aceh juga memiliki kampung kerukunan yang terletak Gampong Mulia, Kecamatan Kuta Alam.
BACA JUGA: Hadang Intoleransi Masuk ke Sekolah, Pergunu Bekali Pelajar Jurnalisme Damai
Walikota Banda Aceh pada 2017 mengukuhkan kampung tersebut sebagai Gampong Sadar Kerukunan di Aceh.
Penetapan Gampong Mulia sebagai kampung sadar kerukunan, karena wilayah itu dihuni oleh multi-etnik dan agama.
Nasir menyampaikan FKUB rutin untuk menggelar pertemuan antar tokoh agama untuk terus memupuk toleransi antar umat beragama.
“Ke depan kita ingin intensifkan lagi. Oleh karena itu kalau melakukan penelitian harus komprehensif dan memiliki ukuran yang jelas” kata Nasir.
Nasir mengaku selama ini FKUB tak pernah dilibatkan dan diajak konsultasi oleh SETARA Institute untuk merumuskan konsep soal intoleransi.
Peneliti bidang agama Henri Salahuddin menyatakan penelitian soal toleransi beragama harus melihat karakter dan budaya dari objek yang diteliti.
Direktur Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) ini menilai indikator intoleransi yang dipakai SETARA Institute tidak sesuai dengan karakteristik masyarakat Indonesia.
BACA JUGA: Pengamat: Intoleransi Adalah Anak Tangga Menuju Radikalisme dan Terorisme
“Indonesia memiliki karakter khas yang berbeda dengan nilai-nilai di Barat,” ujar doktor dalam Pemikiran Islam di University of Malaya, Kuala Lumpur ini.
Menurut dia, semangat keberagamaan tidak bisa digeneralisasikan sebagai bentuk intoleransi.
Sebelumnya SETARA Institute melansir Tanjung Balai, Banda Aceh dan Jakarta menjadi kota-kota yang berada di urutan tiga terbawah dalam peringkat Indeks Kota Toleran 2018.
SETARA Institute menelusuri seberapa besar kebebasan beragama atau berkeyakinan, kesetaraan gender, dan inklusi sosial dijamin dan dilindungi melalui regulasi dan tindakan. []
SUMBER: ANADOLU