SEMINGGU setelah menikah, aku baru mengetahui bahwa istriku mempunyai suatu kebiasaan. Jika ia tidur, ia harus mendekap sebuah bantal guling—yang menurutnya sudah menemaninya lebih dari sepuluh tahun, semenjak ia kelas satu SLTP, “Bantal guling ini pemberian almarhum ayah, Mas. Dan aku sudah terbiasa ditemani dia.”
Aku tertegun. Ketika sebulan lalu kami masih dalam tahap taaruf, ia tidak mengatakan apa-apa soal bantal guling itu. Tadinya aku hendak sedikit tersinggung dan marah, tapi setelah kupikir-pikir sepertinya tidak terlalu signifikan. Apa iya sih ngambek cuma gara-gara sebuah bantal guling saja?
Jika boleh aku berkomentar, keadaan dan ujud fisik benda itu sudah teramat ‘menyedihkan’. Bentuknya sudah tidak karuan lagi. Mungkin karena sudah sekian tahun menemani dan dijadikan alas tidur istriku, ia sudah begitu ‘kurus’, ‘lepet’ dan warna aslinya—aku tidak tahu sungguh—apakah ia hitam, coklat, atau putih. Kadang-kadang aku tak bisa menyembunyikan ketawaku jika istriku sudah mulai beranjak ke pembaringan dan melihat sorot matanya yang seakan meminta izin agar bantal itu berada di tengah-tengah kami.
Semuanya masih berjalan baik-baik saja, sampai suatu kali kami berdua harus menginap di rumah orang tuaku. Selama ini, sejak kami menikah, kami memang masih tinggal di rumah mertuaku. Malam sekali, tiba-tiba aku tersadar bahwa sebenarnya istriku masih memicingkan mata. Tubuhnya sebentar-sebentar berbalik dan berganti-ganti posisi. Dan aku cukup terganggu dengan ‘kegiatannya’ itu.
“Kenapa,.. Ada apa, Dik?’
Istriku tidak menjawab. Ia duduk, kemudian merapikan rambutnya. Tampak peluh cukup besar membasahi dahi dan dagunya. Ia melirikku, ada yang nanar dalam tatapannya.
“Ya..?” Aku menunggu. Ia menarik nafas beberapa kali.
“Besok, kita pulang dulu ya, Mas….”
“Lho, pulang? Kan janji kamu kita di sini seminggu…..”
“Iya, lusanya kita kembali lagi ke sini… Cuma ngambil bantal gulingku itu. Aku tidak bisa tidur, Mas…”
Aku tertegun, ada yang tercekat dalam tenggorokanku. Aku menarik nafas, jarak antara kota tempat orang tuaku tinggal dan rumah mertuaku sangat jauh. Dengan kereta tercepat saja menghabiskan waktu hampir 12 jam. Jika bolak-balik tentu tidak efektif—terutama sejak hanya demi sebuah bantal guling!—selain juga ongkos perjalanan yang relatif mahal, pun jika hanya bagi salah seorang di antara kami. Pekerjaanku sebagai seorang penulis lepas di beberapa majalah masih belum memungkinkan untuk mengeluarkan sekian jumlah dana tambahan hanya untuk, sekali lagi, sebuah bantal guling.
Aku beranjak keluar kamar. Kuketok pintu kamar adikku, Santi. Pintu terbuka dan Santi menggosok-gosok matanya, “Ada apa, A?”
“Pinjem bantal guling kamu, San…. Teteh kamu tidak bisa tidur..”
Adikku mengerutkan kening, heran mungkin. Tapi ia tidak banyak bertanya, hanya melaksanakan apa yang kuperintah. Ketika kembali ke kamar, istriku masih terdiam. Aku menyerahkan bantal guling yang kubawa. “Ini. Untuk sementara—kuharap—bisa mengganti bantal gulingmu itu dulu…”
Kami kembali tertidur. Tapi aku masih bisa merasakan bahwa istriku sangat resah, dan sepertinya ia tidak sebentarpun memejamkan matanya. Hal ini kemudian menjadi semakin kentara ketika kulihat paginya mata istriku sedikit bengkak dan merah.