***
“KAMU harus mencoba menghilangkan kebergantunganmu terhadap bantal guling itu….” ujarku sore harinya ketika kami hanya berdua di beranda menikmati pemandangan sawah di belakang rumahku. “Sedikit demi sedikit saja…”
Istriku menggeregap. Jilbab lebarnya tertiup angin, “Aku sudah mencobanya, Mas, sewaktu kuliah. Tapi tidak bisa. Bagiku, bantal guling itu sudah teramat menjadi sesuatu yang pribadi. Bukannya kemudian aku menduakan Mas lho…” Ia berhenti sejenak. “Ia selalu kubawa kemana-mana, Mas. Baik ketika daurah, rihlah, berkegiatan kampus dan sebagainya jika aku keluar rumah…”
“Itu hanya mitos dan sugesti yang kamu bangun sendiri. Bertahun-tahun jadinya kamu terkungkung dengan keyakinan itu. Kuperhatikan kadang-kadang ketika kamu hendak tidur, kamu tidak selalu mendekap dia…”
“Mas sepertinya tidak mengerti. Semalampun—bahkan sampai sekarang—aku tidak tidur. Entahlah, dengan memandangnya saja, aku hanya perlu merasa yakin, aman, dan tahu bahwa ia telah berada di sampingku…”
Aku terdiam saja. Ah istriku, bukankah sekarang telah ada aku di sampingmu? Bisikku perlahan dalam hati.
***
HANYA dua hari saja aku di rumah orang tuaku. Malam ketiganya kami kembali segera pulang. Dalam waktu dua hari itu istriku tidak sekejappun beristirahat. Ketiadaan bantal guling terkasihnya benar-benar menyita waktunya sangat. Aku hanya menarik nafas. Orang tuaku nampak kecewa ketika kami memutuskan untuk pulang. Memang tidak setiap waktu sekarang aku bisa berkumpul dengan mereka, tapi bagaimana lagi. Aku juga sangat kasihan pada istriku. Ia tentu butuh istirahat, terutama karena kuharap ia segera akan melahirkan jundi-jundi kecilku.
Namun kemudian, sesampainya di rumah, tiga minggu setelah itu, permasalahan tiba-tiba melebar. Dan semuanya berawal dari bantal guling itu. Aku adalah anak bungsu, dan semenjak kecil aku sudah teramat biasa dimanja. Maka ketika menikah, kebiasaan itu masih melekat padaku.
Kadang-kadang, sebelum tidur, sebagai seorang suami—apalagi pengantin baru, aku berhak meminta istriku untuk hanya sekadar mendekapku saja. Tapi sepertinya pekerjaan itu menjadi teramat mahaberat baginya. Awalnya ia masih mau, namun kemudian, ia dengan halus sedikit demi sedikit mulai meminta untuk harus kembali mendekap bantal guling cekingnya itu.
“Aku bisa dan bersedia memeluk Mas kapan saja. Tapi aku mohon, tidak di saat menjelang tidur. Aku tahu, ini mungkin kedengarannya konyol, tapi kan Mas sendiri sudah memahami keterikatan saya dengan bantal guling itu…”
Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tak gatal, “Dik, tidak setiap waktu aku bisa bermanja-manja terhadap dirimu. Kita masih tinggal di rumah orang tua. Jujur saja, canggung rasanya jika harus memintamu melakukan itu di hadapan orang banyak, walaupun itu keluarga sendiri….’
Istriku tertawa perlahan, “Mas kayak anak kecil saja…. Toh, akukan ada di sampingmu…”
“Lho, kamu juga. Aku jugakan ada di samping kamu… Mengapa kamu memilih bantal guling itu untuk kaudekap dibandingkan suamimu yang ganteng ini?”
Tawa istriku semakin lepas, “Mas, cemburu ya? Cemburu pada bantal guling itu…?”
Aku tertegun sejenak. Cemburu? “Mungkin iya. Kalaupun misalnya aku yang ingin memeluk kamu, akhirnya kamu selalu menepiskan tanganku karena membatasi kamu dengan bantal guling itu. Kamu tahu, Dik, cemburuku sepertinya tidak rasional sekali ya? Mungkin masih mendingan jika aku harus cemburu terhadap laki-laki lain, tapi bersaing dengan sesuatu yang mati begitu?”
Istriku tiba-tiba menghentikan tawanya. Ia menatapku sedikit tajam. Ada suasana yang asing dan tegang yang tiba-tiba menyergap. Setelah hampir sebulan lebih hidup bersamanya, aku sudah bisa membaca banyak hal dari sikapnya.
“Ada apa, Dik?”
Ia tidak menjawab. Ada bulir bening di matanya yang perlahan menetes membasahi wajah halusnya. Aku hanya menelan ludah, takmengerti.
Kuulang sekali lagi pertanyaanku. Masih belum ada jawaban juga, malah sekarang isaknya mengguncang tubuhnya. Aku jadi sungguh salah tingkah.
“Apakah,… apakah aku menyinggungmu, Dik?”
Ia masih terdiam, namun sejurus, di sela isak tangisnya, ia berbicara tersendat, “Mas… Mas tahu…”
“Ya?”
“Ketika aku memutuskan bersedia menikah dengan Mas, pertimbanganku cuma satu; karena Allah. Mengapa pula Mas tega mengatakan ‘jika Mas harus cemburu terhadap laki-laki lain’…?”
Aku terdiam,mengernyit tak memahami apa yang barusan dikatakan istriku.
Ia melanjutkan, “Pengabdianku tulus padamu, Mas. Aku tidak pernah memikirkan siapapun laki-laki lain di dunia untuk sepenuhnya kubaktikan hidupku. Dan itu aku lakukan, dan sepertinya Mas pun sudah paham, untuk Allah Mas. Perkataan Mas tadi sedikit melukai aku…”
Aku tertegun lagi. Begitu sensitifnya istriku. Ternyata masih banyak hal yang belum kuketahui darinya. Aku membelai rambutnya, “Maafkan aku, Dik… InsyaAllah, aku tidak akan mengulanginya…”
Tapi walau begitu, suasana tetap tidak cair. Ada kebisuan yang tertinggal di antara kami berdua.