***
HARI-hari selanjutnya setelah kejadian itu sungguh menyiksa bagiku. Kaku. Itu yang terasa setiap kali aku dan istriku bersama. Aku jadi tidak berani bercanda, apalagi jika sudah ada dalam kamar. Sebenarnya aku sudah berusaha untuk melupakan peristiwa malam itu, tapi mungkin aku bukan seorang komunikator yang baik, istriku masih menyimpan puing-puing kejadian itu sepertinya. Ini jelas tidak sehat. Memang sih, ia masih melayaniku sebagaimana kewajibannya, tapi ia tidak banyak bertanya. Kalaupun kuajak bicara, hanya seperlunya ia menjawab.
Suasana ini membuatku sungguh tidak nyaman. Aku jadi berpikir ulang, ini sebenarnya permasalahannya apa sih? Apa benar cuma gara-gara perkataan keseleoku itu atau jangan-jangan malah ujungnya adalah bantal guling itu?
“Dik…” Akhirnya aku membuka wacana. Tidak enak rasanya di awal pernikahan seperti ini ada keantaraan yang begitu menggeregap. “Sekali lagi, maafkan Mas….”
Istriku terdiam. Ia menundukkan kepala. Hening. Aku hanya menggigit-gigt bibir. Menyentuhnya saja sekarang tiba-tiba berubah menjadi sesuatu yang mewah dan mahal bagiku. Ia memang tak pernah melarang atau berkata apa-apa, tapi apa iya aku harus bermanja-manja sementara wajahnya ditekuk begitu?
“Sepertinya kita harus bicara…. Mas tidak bisa berpura-pura kalau sekarang ini di antara kita tidak sedang terjadi apa-apa. Mas tidak bisa menganggap bahwa sekarang ini baik-baik saja…”
Ia menarik nafas. “Mas…. Bukannya aku tidak mempercayai Mas. Tapi sekarang sepertinya tindakan Mas sudah begitu kekanak-kanakan…”
Aku mengernyit.
“Aku bisa memahami jika Mas tidak bisa menerima kehadiran bantal gulingku itu. Tapi menyembunyikannya adalah di sisi lain sangat menyinggung perasaanku…”
Lho? “Maksud kamu, Mas menyembunyikan apa?”
“Bantal guling ku itu….”
“Lho…?”
“Mas tidak berusaha untuk memahami aku…. Betapa aku sangat tersiksa sekarang setiap malam, Mas….”
Aku garuk-garuk kepalaku yang tak gatal. Aku sungguh tak tahu di mana bantal guling sainganku itu. Jadi tidak ada ya? Kemana? Beberapa malam ini memang jarang kulihat ujud benda itu. Tadinya kupikir ia sudah selamat terlelap menemani tuan putriku itu dalam dekapannya. “Bukankah setiap malam ia berada di sampingmu?”
Ia terisak sekarang. “Itu bukan bantal gulingku, Mas. Itu punya ibu…”
Lho?
“Terserah kepada Mas, apakah Mas mau mengembalikannya, atau mungkin sudah Mas buang. Tapi harap Mas tahu, kosentrasiku terhadap Mas, terhadap rumah tangga kita, kegiatan sosial kita, menjadi sangat terpecah. Aku kurang istirahat….”
Aku melongo, “Aku tidak tahu, Dik. Kamu pikir aku sepicik itu menyembunyikan kekasih, euh, bantal gulingmu itu?”
Istriku terdiam. Aku hanya beristighfar. Kupandangi wajahnya. Perlahan kususut air matanya yang jatuh satu-satu.
Esoknya aku berusaha keras, mencurahkan waktuku sepenuhnya untuk mencari saingan absurd dan sangat mayaku itu. Segala pelosok kamar kuubek. Bentuk dan ujudnya yang sudah kurus kering dan tak bertulang sangat memungkinkan ia bisa terlipat-lipat dan kemudian terselip di antara apapun di sudut ruangan. Tidak ada. Kemudian, setelah meminta izin, aku mensweeping kamar mertua dan adik-adik iparku. Mungkin saja ia terseret-seret atau tak sengaja terbawa, kemudian hinggap di suatu tempat. Tapi tetap tak ada. Aku menarik nafas.
“Cari apa, Nak?” Ibu mertuaku yang baru pulang dari pasar tampaknya sedikit kaget melihat kondisiku yang penuh jelaga. Iyalah, bayangkan, aku harus merangkak-rangkak di kolong beberapa tempat tidur yang sangat sempit. Wal hasil, punggungku terasa sakit.
“Anu Bu…., euh, bantal guling….”
“Bantal guling? Bantal guling apa?”
Aku tersenyum, “Itu bu, punya Dik Fathya….”
Tiba-tiba ibu terperanjat. Aku apalagi melihatnya. Ia bergegas ke bagian atas rumah yang memang bertingkat dua. Aku mengikutinya. Suasana tiba-tiba terasa ribut oleh derap langkah kami berdua. Istriku sampai kaget melihatnya.
Sampai di atas, di atap di mana biasanya kami menyimpan jemuran, kulihat sosok yang paling tidak kusukai itu tengah mejeng dengan manisnya. Ia bersandar santai pada genteng-genteng rumah.
“MasyaAllah… Ibu baru ingat. Tiga hari yang lalu ibu menjemurnya, karena kelihatannya sudah lama sekali Fathya tidak mejemurnya….”
Aku menarik nafas panjang. Entah harus lega atau bagaimana. Lega karena dengan begini mungkin istriku akan kembali bisa beristirahat. Bagaimana, karena mungkin juga aku akan semakin tersisih lagi. Aku membawanya, dan memberikannya pada istriku. Ia mengernyit. Ada sedikit sumringah, namun ada juga lekuk kekhawatiran di wajahnya. “Di mana Mas menemukannya?”
“Di atas. Ibu lupa mengambilnya setelah tiga hari yang lalu menjemurnya.”
***
MALAMNYA, istriku menghampiriku. Ia nampak malu-malu. Ada rona merah di wajah hitam manisnya. Dan tiba-tiba aku tergetar. Ia kelihatan sangat cantik. Ia berujar perlahan. “Mas…”
“Ya?”
“Aku minta maaf, Mas…”
Aku terdiam. Hanya memandangnya.
“Aku sudah bersuudzon terhadap, Mas. Ternyata aku yang begitu kanak-kanak. Mas mau memaafkan aku?”
Aku tersenyum, “InsyaAllah, selalu ada untuk kamu Dik…”
“Aku juga kemarin berkonsultasi dengan ustadzah, Mas. Menurutnya, aku memang secara tidak langsung menduakan Mas. Hanya karena bantal guling itu semuanya yang terjadi di antara kita hampir terasa berantakan…”
“Terus?”
“Alhamdulillah, tadi siang aku berazam. Bantal itu sudah kubakar. Aku lebih memilih Mas…”
Aku tertegun. Walau geer, aku masih berkata, “Kamu nggak harus seekstrem itu kok, Dik. Aku nggak keberatan menerimanya. Tapi masa iya sih?”
“Betul. Dan semoga Mas memaafkan aku ya…?”
Aku tersenyum. Kukecup keningnya.
Malam itu sangat sunyi dan paling damai dalam tiga minggu terakhir. Malam itu pertama kalinya juga tidak ada yang membatasi tidur aku dan istriku dalam tiga minggu terakhir. Betapa kemarin persoalan rumah tangga kami sepertinya tidak begitu bergizi. Hanya karena sebuah bantal guling?
Aku tersenyum. Ah, menikah.. ternyata banyak hal yang harus dikompromikan. Kupandangi langit-langit kamar. Lama. Aku merasa hampir terlelap, namun tiba-tiba kurasakan istriku berdiri dan ia menatapku seketika. Perlahan dengan wajah yang sangat memelas ia berujar, “Mas, aku tidak bisa tidur…” []
Kemuning 20, 21 Juni 2001
Cerpen ini pernah diterbitkan oleh Majalah Ummi, Edisi Juli 2001