SEORANG dai dituntut untuk sering melakukan piknik. Ia harus keluar dari daerahnya dan melihat daerah baru agar pikirannya lebih terbuka. Jika pikiran terbuka, pemahaman seorang dai akan menjadi luas dan tidak sempit.
Hal ini disampaikan penulis buku “Mata Air Inspirasi” Abdullah Sholeh Hadrami dalam kajian bertema Fiqih Dakwah di aula Lembaga Pendidikan Islam (LPI) Ar-Rohmah Putri Malang.
Dalam kajian yang digagas DPW Hidayatullah Jatim tersebut, alumnus LIPIA tersebut juga berpesan agar para dai tidak fokus pada masalah khilafiyah.
BACA JUGA: Berbeda Pendapat Tidak Harus Saling Bermusuhan
“Sebab, sesama Ahlussunnah Wal Jamaah, kita masih lebih banyak persamaannya daripada perbedaannya,” jelasnya di hadapan ratusan dai se Jawa Timur mengutip perkataan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Dalam hal perbedaan pendapat, salah satu murid Syeikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin ini juga berpesan agar memfokuskan untuk mencari titik temu. Tinggalkan hawa nafsu dan kepentingan.
“Yang penting harus ikhlas,” lanjut suami Ummu Abdil Qowiy tersebut.
Lebih lanjut, dalam menyikapi perbedaan, hal yang paling penting adalah melakukan klasifikasi terlebih dahulu.
Apakah perbedaannya dalam masalah yang prinsip atau tidak. Salah satu hal yang prinsip adalah masalah aqidah.
Dalam masalah aqidah, kita harus sama-sama berasaskan aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah. Kalau perbedaan itu bukan masalah yang prinsip, tidak perlu dibahas panjang lebar hingga menimbulkan perpecahan.
“Monggo melaksanakan sesuai keyakinan, yang penting, kita tetap bersaudara,” ujarnya menegaskan.
Masalahnya, kebanyakan dai terlalu berlebihan dalam hal perbedaan. Jelas-jelas bukan perbedaan prinsip, tapi dijadikan seolah-olah perbedaan prinsip. Belum lagi, ada dai yang terlalu fanatik dengan golongan dan kelompoknya. Sehingga al-Quran dan hadits tidak menjadi sandaran utama.
Di zaman nabi, banyak perbedaan-perbedaan pendapat yang terjadi. Tetapi, semuanya tetap rukun dan damai, tidak saling menghujat dan mencaci.
Oleh sebab itu, dalam Surat Yusuf : 108, dai harus berdakwah ‘ala bashirah (di atas ilmu). ‘Ala bashirah dalam ayat ini, bermakna tiga hal. Pertama, memiliki ilmu tentang apa yang didakwahkan. Kedua, mengetahui keadaan oran-orang yang didakwahi. Dan ketiga, mengetahui cara berdakwah.
Cara berdakwah ini, menurut nya, yang harus diperhatikan. Di antara poin penting dalam berdakwah yang diajarkan para ulama adalah bersabar. Hal ini, paparnya, seperti tertuang dalam surat al-Ashr yang mencakup 4 hal penting yang wajib dimiliki dai; ilmu, amal, dakwah dan sabar.
“Ketika awal mengajar Sunan Ibnu Majah di Masjid Nabawi, Bakar bin Abu Zaid hanya memiliki satu orang murid yang mengambil istifadah darinya. Padahal, beliay mengajar kitab tersebut selama 10 tahun,” ujarnya memberi contoh kesabaran seorang ulama.
Syeikh Ibnu Jibrin bahkan pernah mengajar tanpa pendengar kecuali seorang pembawa kopi saja.
BACA JUGA: Beda Islam dan Kaum Feminis Memandang Perempuan
Berdakwah Seperti Bermain Bola
Dalam penjelasannya tentang banyaknya kelompok-kelompok dakwah. Ia berpesan untuk berdakwah seperti bermain bola. Ada yang menjadi penyerang, ada kiper, dan sebagainya. Juga, lanjutnya, bisa diumpamakan seperti membangun rumah; ada arsiteknya, ada tukang bangunannya, dan sebagainya.
“Mari bagi-bagi tugas,” pungkasnya. []
Akhukum Fillah
Abdullah Sholeh Hadrami
Ingin download video, audio dan tulisan serta info bermanfaat ? Silahkan bergabung di Channel Telegram kami;
Channel YouTube