NAMUN tepat jam sembilan malam, ketika surat Al-baqarah masih terdengar begitu jelas dari HP. Mama menyalakan lampu dan mendorong pintu kamar dengan sedikit kasar, “Kamu sms apa ke bapak., Ara?” Tanya mama dengan nada tinggi yang mengejutkanku.
Disusul kedatangan aa yang melotot kearahku, “Kamu kirim sms apa? Sampai bapak marah seperti itu Ara?” aku makin tersudut dan keheranan.
“Ara gak sms apa-apa mah,” jawabku.
“Kamu sms bapak bilang jangan ganggu Bapak lagi? Bapak marah, Ara,” sudut mama yang membuatku semakin bingung. Tiba-tiba aku teringat ketika aku tak sengaja menekan tombol HP yang seolah mengirim kalimat jangan mengganggu lagi. Mama dan aa begitu mendesakku untuk mengakui bahwa aku mengirim sms yang melarang bapak untuk mengganggu lagi.
Mama begitu marah. Mama memegang HP bapak dan memperlihatkan smsnya, namun tak sempat aku melihat smsnya. Aku bersumpah, “Demi Allah, Ara gak sengaja ngirim sms itu Mah, A,” kataku dengan gelagapan. Aku bingung bagaimana menjelaskannya. Namun mama segera pergi dan mencoba menjelaskan pada bapak yang kini sedang menangis.
Aa masih berada di kamarku dan menyuruhku menjelaskan apa yang terjadi, namun tak kuasa aku bercerita. “Gak mau a, Ara takut,” jawabku lirih yang tak sadar kini aku menangis kembali. Aa menyusul mama menemui bapak yang kini masih menangis tersedu-sedu. Bapak merasa bahwa aku telah membencinya. Aku diam-diam mengikuti Aa dari belakang. Namun tak sanggup aku berkata apapun ketika melihat mama bercerita panjang lebar kepada bapak dengan menangis.
Sungguh aku tak kuasa melihat kejadian ini, mama dan bapak bertengkar hebat karena kesalahanku. Aa meninggalkanku dan masuk ke kamarnya, sedangkan mama memampahku untuk kembali ke kamar. Mama meminta maaf karena telah membangunkan tidurku. Mama menyuruhku untuk segera tidur. Namun mulut ini serasa terbungkam. Hati ini terasa tersayat-sayat. Aku hanya bisa menyandarkan punggung ini di tembok kamar yang begitu dingin.
Aku menangis sejadi-jadinya. Aku merasa gagal menjadi seorang anak. Aku merasa jahat. Padahal siang tadi Gina sempat berkata padaku, “Kamu kemana aja? Kasian Mirna. Dia butuh kasih sayang.” Kalimat yang singkat namun seolah menusukku, ia tak tahu apa yang terjadi. Dan lagi kini, aku dapatkan kejadian yang membuatku terasa tertusuk.
Batin ini terus berkecimuk, aku merasa menjadi orang yang tak berguna. Padahal dari awal kuliah, prinsipku adalah bermanfaat untuk orang lain. Namun kini aku merasa menjadi orang paling jahat yang pernah ada. Aku membuat sahabatku tersakiti. Dan kini aku membuat mama dan bapak menangis sejadi-jadinya.
Aku merasa tak ada gunanya lagi aku hidup. Aku hanya menjadi masalah bagi orang lain. Aku menangis sejadi-jadinya malam itu. Aku tak bisa tidur. Namun aku lihat mama yang ikut menangis dan berkali-kali menyuruhku untuk tidur.
Akhirnya aku menuruti perintah mama, dengan mata sembab, aku paksakan mata ini terpejam. Hati ini terasa gelisah dan terus merasa bersalalah. Terdengar jelas lantunan ayat suci al-quran yang masih terdengar dari layar HPku, hingga perlahan suaranya tak terdengar lagi ketika aku terlelap dalam tidur.
Keesokan karinya, hati ini masih menghujat diri yang tak pernah berguna. Aku diam seribu bahasa. Aku tak mengeluarkan kata-kata sedikitpun hingga aku tiba di kampus untuk menghadiri seminar Nasional. Dan aku tetap bungkam…
Batinku kembali berbisik, “Bapak, Maafkan aku. Aku belum bisa menjadi anakmu yang baik. Tapi aku berjanji bahwa aku akan membalas semua kebaikanmu selama ini. Akan kuhadiahkan surga untukmu nanti. Dengan hafalan quranku.” []
TAMAT