SEORANG mahluk luar angkasa yang kebetulan mampir di Bumi satu milenium lalu mungkin akan berpikir bahwa Amerika tidak dijajah oleh orang Eropa primitif, tetapi oleh peradaban Arab yang lebih maju, hingga akibatnya, semua orang Amerika akan berbahasa Arab hari ini.
Namun setelah sekitar 1200 tahun, Timur Tengah beristirahat: mengalami stagnasi ekonomi, dan sekarang ini ditandai oleh tingginya tingkat buta huruf dan otokrasi. Wilayah tersebut meletus; Mesir, Tunisia, Libya, Bahrain, Suriah. Dan sebuah pertanyaan mendasar muncul: Apakah alasan keterbelakangan di Timur Tengah adalah Islam?
Sosiolog Max Weber dan para sarjana lainnya berpendapat bahwa Islam sebagai agama landasan yang buruk untuk kapitalisme, dan beberapa hal telah menunjukkan secara khusus, misalnya larangan Islam tentang membayar bunga pinjaman.
Tapi itu tampaknya tidak benar. Ahli lain mencatat bahwa Islam dalam beberapa hal, lebih pro-bisnis daripada agama besar lainnya. Nabi Muhammad adalah seorang pedagang sukses dan juga simpatik terhadap orang kaya. Dan Timur Tengah adalah pusat global budaya dan perdagangan, katakanlah, di abad ke-12: jika Islam menghambat bisnis saat ini, mengapa waktu itu tidak?
Banyak orang Arab yang memiliki teori alternatif tentang alasan keterbelakangan kawasan mereka: kolonialisme Barat. Tapi tampaknya itu semua sama-sama munafik dan memiliki urutan yang salah. “Untuk semua ketidakpuasan, masa kolonial di Timur Tengah membawa perubahan mendasar, bukan stagnasi; melek huruf dan pendidikan meningkat, tidak menyebarkan ketidaktahuan, dan pengayaan pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya,” tulis Timur Kuran, seorang sejarawan ekonomi di Duke University. Kuran Menulis sebuah buku berjudul “The Long Divergence: How Islamic Law Held Back the Middle East.”
Buku Profesor Kuran ini menawarkan penjelasan terbaik mengapa Timur Tengah tertinggal. Setelah meneliti catatan bisnis kuno, Profesor Kuran berpendapat bahwa apa yang dimiliki Timur Tengah itu bukan Islam, atau kolonialisme, melainkan berbagai sekunder praktik hukum Islam yang tidak lagi relevan saat ini.
Misalnya saja, kemitraan Islam, yang cenderung menjadi kendaraan untuk usaha. Kemitraan Islam dibubarkan kapanpun setiap salah satu anggotanya meninggal, dan sehingga mereka cenderung hanya mencakup beberapa mitra. Ini menjadikannya sulit untuk bersaing dengan perusahaan industri dan keuangan Eropa yang didukung oleh ratusan pemegang saham.
Namun salah satu tantangan yang bersifat psikologis; banyak orang Arab menyalahkan orang luar untuk keterbelakangan mereka, dan mengatasinya dengan menolak modernitas dan dunia luar.
Krisis di dunia Arab saat ini memberikan kesempatan untuk memulai hal baru. Ikhwan sering menggunakan slogan, “Islam adalah solusi.” Dan di Barat, seringnya jadi: “Islam adalah masalah.” Penelitian Profesor Kuran menunjukkan bahwa Islam bukan masalah, namun Barat tetap menganggap Islam bukanlah solusi.
Barat tetap menganggap Islam hanyalah sebuah agama, yang berarti bahwa jika masa istirahatmya berakhir, maka ada waktunya untuk bergerak maju lagi. []
Sumber: New York Times