BEBERAPA orang, khususnya kaum perempuan yang masih terikat utang puasa (qadha). Mereka yang ketika Ramadhan tidak menjalankan puasa karena alasan syar’i, ia wajib menggantinya di lain waktu selain Ramadhan. Sebelum Ramadhan datang kembali, maka utang itu harus segera lunas.
Dalam menjalankan utang, yakni berpuasa qadha, biasanya selalu saja ada godaan datang menghadang. Salah satunya dari pihak suami. Ya, terkadang keinginan suami untuk berhubungan badan datang kapan saja. Dan sudah menjadi kewajiban seorang istri untuk melayaninya. Tetapi, bagaimana bila dalam keadaan berpuasa, apakah boleh membatalkan puasa qadha karena ingin berhubungan badan?
Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu,” (QS. Muhammad: 33).
Dalam ayat ini, Allah melarang kita membatalkan amal di saat kita tengah mengerjakannya. Termasuk di antaranya amal wajib yang telah kita kerjakan.
Ketika fathu Mekah, Ummu Hani’ Radhiyallahu ‘Anhu sedang puasa. Tiba-tiba datang seseorang membawa segelas minuman. Ummu Hani’ langsung mengambilnya dan meminumnya. Lalu Nabi ﷺ bersabda, “Apakah kamu akan mengqadhanya?” Ummu Hani menjawab, “Tidak” Selanjutnya, Nabi ﷺ menegaskan, “Tidak masalah, jika itu puasa sunnah,” (HR. Ad-Darimi 1736, Baihaqi dalam Al-Kubro 8134 dan sanadnya dinilai dhaif oleh Syaikh Husain Salim Asad).
Dalam hadis lain, dari Ummu Hani’ Radhiyallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Orang yang melakukan puasa sunnah, menjadi penentu dirinya. Jika ingin melanjutkan, dia bisa melanjutkan, dan jika dia ingin membatalkan, diperbolehkan,” (HR. Ahmad 26893, Turmudzi 732, dan dishahihkan Al-Albani).
Karena itu, para ulama mengatakan, mereka yang telah melaksanakan puasa wajib, seperti puasa Ramadhan, puasa qadha atau puasa nadzar, tidak boleh membatalkannya tanpa ada udzur yang syar’i. Seperti sakit atau safar atau lainnya.
Ibnu Qudamah mengatakan, “Siapa yang telah memulai puasa wajib seperti qadha Ramadhan, puasa nazar hari tertentu atau nazar mutlak, atau puasa kafarah, tidak boleh membatalkannya. Karena sesuatu yang statusnya wajib ain, harus dilakukan. Sementara yang bukan wajib ain, menjadi wajib ain jika telah dilakukan. Sehingga statusnya sama dengan wajib ain. Dan dalam hal ini tidak ada perselisihan,” (Al-Mughni, 3/160 – 161).
Sebatas keinginan untuk berhubungan badan, bukan alasan syar’i untuk membatalkan puasa. Tetapi, bagaimana jika suami menuntut?
Dalam keataatan harus ada prioritas. Taat kepada makhluk dibolehkan, selama tidak melanggar kewajiban kepada khalik. Nabi ﷺ bersabda, “Tidak ada ketaatan bagi makhluk dalam kemaksiatan kepada Allah,” (HR. Ahmad 1095 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Karena itu, agar puasa yang dilakukan istri tidak menjadi masalah dalam keluarga, hendaknya sebelum puasa qadha, istri membuat kesepakatan dengan suaminya, kapan waktu untuk berpuasa. Wallahu ‘alam. []
Sumber: Ammi Nur Baits, Dewan Pembina Konsultasisyariah.com