BERIKUT ini sebagian penjelasan dan ketentuan untuk akad mudharabah:
1. Akad mudharabah adalah akad antara pemilik modal (shahibul mal) dan pebisnis (‘amil atau mudharib), dengan penyerahan modal dari pemilik modal berupa uang untuk diputar dalam bisnis atau perdagangan oleh pebisnis, dengan keuntungan usaha dibagi bersama.
2. Istilah akad mudharabah (المضاربة) adalah istilah yang digunakan oleh ulama Hanafiyyah. Sedangkan Syafi’iyyah menyebutnya dengan istilah qiradh (القراض).
3. Dalam akad mudharabah, modal harus berupa uang, dan tidak boleh berupa barang, karena itu menjadikan akadnya jatuh pada gharar fahisy (gharar atau ketidakjelasan yang dominan sehingga merusak akad).
Barang itu nilainya bisa berubah-ubah, nilainya saat ia diterima dalam permodalan beda dengan saat dijual dan seterusnya. Sehingga ia melahirkan gharar.
BACA JUGA: Akad Riba yang Menjerumuskan
Dan pada dasarnya, akad qiradh (akad mudharabah) ini sejak awal sudah mengandung gharar (ketidakjelasan), yaitu pekerjaannya tidak ada ketentuan standar, keuntungannya pun belum pasti. Namun ia dibolehkan, karena banyak orang berhajat dengan akad ini.
Nah, jika ia ditambah dengan gharar lain (yaitu nilai barang sebagai modal yang tidak jelas), maka akan menyebabkan ia jatuh pada gharar fahisy.
Sehingga untuk menghindarinya, modal harus berupa sesuatu yang nilainya jelas, dan itu adalah uang.
4. Pembagian keuntungan hasil qiradh (akad mudharabah) harus berupa persentase atau porsi yang jelas, misal 50:50, 60:40, dan seterusnya.
Tidak boleh pembagian keuntungan dengan jumlah tertentu, misal bagi hasil untuk pebisnis atau pemilik modal adalah Rp 5.000.000,-, berapapun keuntungan yang didapatkan. Karena ini bisa menyebabkan keuntungan hanya untuk satu pihak saja, saat total keuntungan tidak mencapai jumlah bagi hasil yang telah ditentukan.
Jika akad sudah terjadi dengan ketentuan semacam ini, maka akadnya dianggap batal, dan keuntungan usaha yang sudah didapatkan sepenuhnya menjadi pemilik modal, dan pebisnis mendapatkan ujrah mitsl (upah standar).
5. Akad qiradh (akad mudharabah) disyaratkan bersifat mutlak, dan tidak sah jika diberi taqyid (batasan) yang menyulitkan pebisnis untuk mengembangkan usahanya, misal disyaratkan hanya boleh mengambil barang yang sudah ditentukan dan jumlahnya terbatas, atau jenis barang tertentu dari orang tertentu, atau dari daerah kecil tertentu, dan semisalnya.
6. Dan akad qiradh tidak disyaratkan harus ditentukan durasi waktunya. Bahkan jika disyaratkan waktu yang terlalu sempit, yang membuat si pebisnis belum sempat menjalankan usahanya sampai mendapatkan keuntungan, maka akadnya tidak sah.
7. Kalangan Hanafiyyah membolehkan taqyid akad ini dengan durasi waktu tertentu atau pada barang jualan tertentu, selama itu tetap bisa mendatangkan keuntungan.
8. Akad qiradh adalah akad jaiz bagi kedua belah pihak, bukan akad lazim, sehingga masing-masing pihak boleh membatalkan akad ini, kapan saja mereka mau.
Jika pembatalan akad terjadi sebelum usaha dilakukan, maka si pebisnis tidak boleh menggunakan uang modal yang ada di tangannya, karena itu berarti ia melakukan transaksi muamalah terhadap harta yang bukan miliknya tanpa seizin pemiliknya.
Jika pembatalan akad terjadi setelah usaha berlangsung, maka saat itu si pebisnis tidak boleh lagi memutar modal tersebut (seperti membeli atau stok barang jualan baru), dan barang jualan yang tersisa harus ia jual sehingga bisa menjadi uang, kemudian utang-piutang bisnis diselesaikan. Setelah itu, modal dikembalikan ke pemilik modal, dan keuntungan dibagi bersama sesuai kesepakatan.
BACA JUGA: Akad Wadiah di Bank Syariah Itu Adalah Akad Qardh?
9. Pebisnis dalam akad qiradh atau mudharabah ini, dalam mengelola harta modal milik shahibul mal statusnya yad amanah, yang berarti jika uang modal tersebut hilang, atau barang jualan yang dibeli dengan modal hilang atau rusak, ia tidak punya kewajiban memberikan ganti rugi, selama hilang atau rusaknya tersebut bukan karena kelalaian atau penyalahgunaan si pebisnis.
10. Karena modal di tangan pebisnis dalam akad qiradh itu yad amanah, maka jika usahanya merugi, kerugiannya hanya ditanggung oleh pemilik modal, dan si pebisnis tidak ikut menanggung kerugian tersebut.
Wallahu a’lam. []
Rujukan: Fiqh Al-Mu’amalah, karya Dr. Mushthafa Dib Al-Bugha, Halaman 181-193, Penerbit Dar Al-Mushthafa, Damaskus, Suriah.
Oleh: Muhammad Abduh Negara