MENTERI Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD membeberkan kasus dugaan pencucian uang di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Ditjen Bea Cukai) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang berkaitan dengan impor emas.
Awalnya Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) ini menjelaskan adanya kekeliruan di pihak Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati soal data transaksi mencurigakan senilai Rp 349 triliun di Kemenkeu.
Menurut Mahfud, ada bawahan Sri Mulyani yang menutup-nutupi kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) di Kemenkeu. Data yang baru diterima oleh Sri Mulyani pada 13 Maret 2023 dari Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana sebelumnya sudah dikirimkan di mana di dalamnya ada 189 surat.
BACA JUGA: Tantang 3 Anggota DPR Ini Hadiri Rapat Rp 349 T, Mahfud: Jangan Cari Alasan Absen
Tapi, kata Mahfud, bawahan Sri Mulyani itu menyatakan tidak ada laporan soal dugaan pencucian uang itu. “Oh enggak ada bu, enggak pernah ada,” kata Mahfud menceritakan saat rapat bersama Komisi III yang disiarkan langsung melalui akun YouTube DPR RI pada Rabu, 29 Maret 2023.
Ia tidak menjelaskan detail siapa pejabat Kemenkeu yang menutup akses tersebut, melainkan hanya menyebut bahwa bawahan yang dimaksud itu adalah pejabat tinggi eselon satu.
“Ini informasi yang tahun 2020,” kata Mahfud menirukan Sri Mulyani. “Enggak ada,” jawabnya.
Namun, ketika hal itu ditanyakan kepada Kepala PPATK, kata Mahfud, ternyata ada surat yang dimaksud. Kemudian baru dicari surat yang isinya menyebutkan dugaan TPPU. Di dalam surat tersebut ada yang sudah masuk pada 10 Juni 2009 sampai yang terakhir 11 Januari 2023, totalnya ada 300-an surat.
Ketika akhirnya sampai ke Sri Mulyani, menurut Mahfud, isi suratnya berbeda dengan yang dilaporkan PPATK. Nilai transaksi dugaan TPPU cukai dengan 15 entitas sebesar Rp 189 triliun, tapi pelaporannya menjadi pajak. Sehingga ketika diteliti, yang di dalam laporan disebut ada banyak perusahaan dan pajaknya kurang. Padahal itu merupakan pelaporan cukai.
“Apa itu? emas ya. Impor emas, batangan yang mahal-mahal itu tapi di dalam suratnya itu dibilang emas mentah. Diperiksa oleh PPATK, diselidiki, emasnya sudah jadi kok bilang emas mentah,” kata Mahfud.
Kemudian, Mahfud melanjutkan, pihak Bea Cukai mengatakan bahwa itu merupakan emas mentah yang dicetak di Surabaya. Kemudian dicari pabrik cetak emas itu di Surabaya, ternyata tidak ada. “Itu menyangkut uang miliaran, enggak diperiksa (oleh Inspektorat Jenderal Kemenkeu),” tutur dia.
Padahal laporan itu diberikan tahun 2017 oleh PPATK. Bahkan diberikannya tidak menggunakan surat, tapi data langsung oleh Kepala PPATK dan diterima oleh Kemenkeu yang diwakili Direktur Jenderal Bea Cukai, Inpektur Jenderal, dan dua orang lainnya.
BACA JUGA: Mahfud Md Tegaskan Jangan Main-main dengan Jadwal Pemilu, Bisa Chaos Jika Ditunda
“Nih serahkan, kenapa tidak pakai surat? Karena ini sensitif masalah besar. Dua tahun enggak muncul, tahun 2020 dikirim lagi, enggak sampai ke Bu Sri Mulyani. Sehingga bertanya ketika kami kasih itu. Dan dijelaskan tadi yang salah,” ucap Mahfud.
Lebih jauh, Mahfud menyatakan sangat menghormati Sri Mulyani yang merupakan teman baik dalam pemberantasan korupsi dan teman di berbagai hal. Soal ramai tentang transaksi janggal Rp 349 triliun di Kemenkeu yang diungkapnya, menurut Mahfud, bisa terjadi karena ada informasi dari bawahan yang tak disampikan ke Menkeu.
“Saya kagum, kalau di kabinet menerangkan masalah apapun yang pelik bisa menjadi sederhana. Sehingga saya percaya dia Menteri Keuangan yang terbaik. Tetapi akses dari bawah enggak masuk (ke Sri Mulyani),” kata dia. []
SUMBER: TEMPO