Oleh: Wijdi Atqiya
Mahasiswa STID Muhammad Natsir
DAKWAH memiliki metode atau cara yang telah Allah jelaskan dalam Al-Qur’an Surat An-Nahl ayat 125.
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabb mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabbmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. An-Nahl: 125)
Ayat di atas sudah tidak asing lagi didengar apalagi dikalangan para da’i. ayat ini juga dijadikan dalil keharusan berdakwah. Allah menjelaskan beberapa metode berdakwah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Kebanyakan orang memahami metode dakwah dalam ayat ini yaitu dakwah bil hikmah, mau’izhah hasanah, dan mujadalah hasanah. Kitab At-Tafsir Al-Bayani Lima Fi Surotin Nahli Min Daqiqil Ma’ani yang ditulis oleh Sami Wadi’ ‘Abdul Fattah Syahadah Al-Qudumi menjelaskan, bahwa dakwah dan mujadalah atau debat adalah dua hal yang berbeda.
Yang pertama bisa kita lihat dari segi kaidah bahasa Arab. Kata ud’u dalam ayat tersebut berbentuk kata perintah (fi’il amr). Allah memerintahkan nabi Muhammad untuk berdakwah dengan cara yang hikmah dan mau’izhah hasanah. Kata hikmah dan mau’izhah hasanah dalam ayat tersebut datang dengan bentuk isim (kata benda atau sifat). Sedangkan jadil datang dengan bentuk fiil (kata kerja).
Jika mujadalah atau debat termasuk metode dakwah maka redaksi ayat akan menjadi bil hikmah, wal mau’izhah al- hasanah, wal-mujâdalah al-hasanah. Tapi, kata jidal berbentuk kata kerja seperti kata ud’u maka debat tidak termasuk metode dakwah. Dakwah dan debat sesuatu yang berbeda dan memiliki metode masing-masing.
Kadua, dakwah dan debat memiliki tujuan yang berbeda. Karena kata dakwah dan debat pada ayat di atas sama-sama menggunakan kata perintah, maka Allah menyuruh berbdebat setelah berdakwah dengan hikmah dan mau’izhah hasanah. Tujuan dakwah yang pertama ia mengajak orang-orang kepada agama Islam. Maka dari itu, dakwah harus lah dengan cara hikmah dan mau’izhah hasanah. Adapun tujuan pertama dari perdebatan ialah melawan musuh dan menegakkan hujjah yang benar.
Pemahaman di atas juga dijelaskan Fakhruddin Ar-Razi dalam tafsirnya. Maka jelaslah bahwa dakwah dan debat dua hal yang berbeda dan masing-masing memiliki metode dan tujuan yang berbeda. []
(Sami Wadi’ ‘Abdul Fattah Syahadah Al-Qudumi, At-Tafsir Al-Bayani Lima Fi Surotin Nahli Min Daqaiqil Ma’ani, Yordan: Darul Wadhah, hal. 251)