MANUSIA itu tempatnya berkeluh kesah. Sulit sekali bisa melihat kebaikan pada dirinya, sementara nikmat yang begitu banyak jarang disyukuri.
Hasan Bashri berkata, “Manusia itu lebih mudah menghitung cobaan daripada nikmat besar yang Allah anugerahkan kepadanya.”
Allah Ta’ala berfirman,
وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (QS. Ibrahim:7)
Dari ayat di atas jelas bahwa hukum syukur itu adalah wajib. Karena Allah hanya memberikan dua pilihan. Bila bersyukur Allah akan tambahkan nikmatNya, jika tidak Allah akan hilangkan nikmat disebabkan keluh kesah sebagai bentuk protesnya terhadap nikmat Allah kepadanya.
Hal yang mudah memalingkan seseorang dari rasa syukur adalah menganggap nikmat yang ada pada orang lain lebih besar dari dirinya. Padahal nikmat terbesar adalah iman dan Islam. Yang tidak bisa dihargai dengan dunia dan isinya.
Mufassir Al-Azhar, Syeikh Prof Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi (1911-1998)berkata, “Harta adalah rezeki yang paling rendah. Kesehatan adalah rezeki yang paling tinggi. Anak yang shalih adalah rezeki yang paling utama. Sedangkan Ridho Allah adalah rezeki yang sempurna.”
Bukan sebaliknya sebagaimana mindset yang berkembang di tengah masyarakat bahwa harta dan materi adalah segala-galanya. Nikmat/ rezeki zhahir (fisik) itu lebih dikejar dan dianggap lebih utama. Padahal rezeki bathin (jiwa) itu justru menjadi modal seseorang dalam menghadapi permasalahan hidupnya. Sebagaimana keutamaan amalan hati dibandingkan amalan fisik. Ikhlas, sabar, syukur, tawakal dan kawan-kawannya.
Meletakkan syukur itu harus pada tempatnya. Mensyukuri nikmat dengan ketaatan. Bukan mensyukuri nikmat dengan perkara yang Allah benci.
Dua perkara penting yang perlu dicatat dalam bab syukur adalah bahwa,
Pertama,
Syukur itu bisa mengubah nikmat menjadi ketaatan. Inilah yang menjadi puncak dari syukur.
BACA JUGA: 6 Keutamaan Bersyukur
Jangan sampai nikmat yang Allah berikan digunakan untuk berbuat maksiat. Sebagaimana mengutip perkataan Abu hazim bahwa nikmat yang tidak digunakan untuk ketaatan adalah musibah (Jaami’ul Ulum wal Hikam, 2: 82).
Kedua,
Bahwa syukur tidak diterima bila seseorang tidak bisa berterima kasih kepada orang yang berbuat baik padanya, terutama orang tuanya.
Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ
“Tidak dikatakan bersyukur pada Allah bagi siapa yang tidak tahu berterima kasih pada manusia.” (HR. Abu Daud no. 4811 dan Tirmidzi no. 1954.)
Karena begitu banyak orang yang tidak tahu berterima kasih kepada orang lain terutama yang telah berjasa kepadanya. Sehingga nikmat Allah tidak ditambahkan untuknya.
Syukur itu pengikat nikmat yang sudah ada dan mengundang nikmat yang belum ada. Lantas, bagaimana bisa diperoleh dari hati, lisan dan perbuatan yang enggan berterima kasih kepada orang tua atau orang lain yang telah berbuat baik padanya.
Intinya, seseorang dinamakan bersyukur ketika ia memenuhi 3 rukun syukur yakni,
(1) mengakui nikmat tersebut secara batin (dalam hati),
Jika tak terbiasa dan sulit untuk bersyukur maka awalilah dengan melisankan syukur tersebut. Lama kelamaan hati akan terbiasa.
(2) membicarakan nikmat tersebut secara zhohir (dalam lisan): tahadduts binni’mah (menyebutkan nikmat Allah)
Hal ini bukan dalam rangka pamer atau riya’ . Tergantung niat seseorang. Jika akan mengarah kepada ujub maka sebaiknya sekedarnya saja dan tidak membuat terjerumus kedalam niat yang salah.
وَاَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ ࣖ
Dan terhadap nikmat Tuhanmu hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur).(QS. Ad-Dhuha:11)
Lihat juga QS. An-Naml: 40.
قَالَ الَّذِيْ عِنْدَهٗ عِلْمٌ مِّنَ الْكِتٰبِ اَنَا۠ اٰتِيْكَ بِهٖ قَبْلَ اَنْ يَّرْتَدَّ اِلَيْكَ طَرْفُكَۗ فَلَمَّا رَاٰهُ مُسْتَقِرًّا عِنْدَهٗ قَالَ هٰذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّيْۗ لِيَبْلُوَنِيْٓ ءَاَشْكُرُ اَمْ اَكْفُرُۗ وَمَنْ شَكَرَ فَاِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهٖۚ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ رَبِّيْ غَنِيٌّ كَرِيْمٌ
Seorang yang mempunyai ilmu dari Kitab berkata, “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.” Maka ketika dia (Sulaiman) melihat singgasana itu terletak di hadapannya, dia pun berkata, “Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya). Barangsiapa bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan barangsiapa ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Mahakaya, Mahamulia.”
Yakni saat nabi Sulaiman mengatakan hadza min Fadhli Rabbi. Ini adalah karunia dari Tuhanku. Kalimat ini menjadi ungkapan saat seseorang mendengar pujian dari orang lain.
(3) menggunakan nikmat tersebut pada tempat-tempat yang diridhai Allah (dengan anggota badan).
Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam seseorang yang ma’sum (suci) dan sudah dijamin surga, tapi paling getol ibadah, bahkan saat sholat malam kaki beliau bengkak. Hingga saat ditanyakan beliau katakan bahwa hal itu adalah bentuk syukur beliau kepada Allah.
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ اللَّهَ يُحِبَّ أَنْ يَرَى أَثَرَ نِعْمَتِهِ عَلَى عَبْدِهِ»
Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda: “Sungguh Allah sangat suka meyaksikan bekas nikmatNya pada diri hambanNya” (HR. Turmudzi)
Bekas nikmat bisa terlihat dari lisan atau perbuatan seseorang. Bentuk syukur dalam perbuatan adalah dengan menggunakan nikmat Allah di jalan ketaatan.
Abu hazim mengatakan, “Setiap nikmat yang tidak digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah maka hanya akan menjadi musibah”. Semua mencakup nikmat yang dititipkan Allah kepadanya. Harta, jabatan, kecerdasaan, ilmu dll. Atau hanya sekedar HP di tangan.
Inilah yang menjadi rahasia keberkahan hidup para ulama terdahulu, jauh dari keluh kesah dan selalu pandai bersyukur. Dan ini juga membuat manusia bertingkat-tingkat. Ada yang sulit bersyukur, ada yang bersyukur bila mendapatkan nikmat saja, dan bahkan ada yang bersyukur saat ditimpa musibah.
Sejatinya bersyukur dengan yang menyenangkan itu biasa, tapi bersyukur saat menerima hal yang tidak menyenangkan itu yang istimewa.
Dikatakan bersyukur dikala kondisi duka itu juga menjadi tingkat tertinggi seseorang dalam mengahadapi cobaan,
1. Marah dan tidak terima (Tingkat paling rendah)
2. Bersabar: Menerima dan menahan diri (Tingkat menengah)
3. Bersyukur. Menerima dengan senang hati (ridho terhadap qadha Allah) karena semua dianggap nikmat. (Tingkat tertinggi)
Dikatakan kufur nikmat bila mengabaikan ketiga rukun syukur tersebut. Mengingkari nikmat Allah, sulit melisankan syukur atau tidak tahu berterima kasih serta menggunakan nikmat di jalan maksiat.
Cara mudah bersyukur
1. Memperbaiki hubungannya dengan Allah.
📌 Memuji Allah/ bersyukur saat mendapatkan nikmat, menyalahkan diri sendiri saat ditimpa keburukan.
“Maka barang siapa yang mendapatkan kebaikan, hendaklah bersyukur kepada Allah dan barang siapa mendapatkan selain dari itu, maka janganlah sekali-kali ia menyalahkan kecuali dirinya sendiri”. (HR. Muslim no. 6737)
📌 Memprioritaskan Allah dari yang lain.
📌Meningkatkan ilmu tauhid (menjadikan Allah satu-satunya Zat tempat mencurahkan segala sesuatu. Tak ada yang lain)
📌 Menjauhkan dosa besar.
📌 Ajarkan hati dengan lisan “Alhamdulillah”. Karena dengannya, kesenangan yang datang tak membuatnya melambung atau ketidaksukaan tak menjadikannya terpuruk.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melihat (mendapatkan) sesuatu yang dia sukai, beliau mengucapkan,
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ
Segala puji hanya milik Allah dengan segala nikmatnya segala kebaikan menjadi sempurna.’ Dan ketika beliau mendapatkan sesuatu yang tidak disukai, beliau mengucapkan,
الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ
Segala puji hanya milik Allah atas setiap keadaan’.” (HR. Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan).
❤️2. Memperbaiki hubungannya dengan manusia.
📌 Menghilangkan kebencian dan penyakit hati kepada manusia. Karena kebencian dan penyakit hati akan mempersempit kehidupan. Manusia hanya membutuhkan akhlak dan pribadi yang baik bukan yang lain.
📌 Salah satu kunci awetnya hubungan antara manusia dengan manusia lainnya adalah harus ada yang mengalah. Mengalah bukan karena lemah dan bodoh melainkan untuk menang di sisi Allah (karena Allah).
Menurunkan gengsi dan ego adalah bentuk lapang dada dan menundukkan hawa nafsu.
📌Selalu melihat orang yang di bawahnya atau kurang beruntung darinya.
Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda,
“Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu (dalam masalah ini). Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
BACA JUGA: Cara Bersyukur dengan Hati, Lisan, dan Anggota Badan
❤️3. Minta pertolongan Allah untuk senantiasa bersyukur.
Sebagaimana doa yang diajarkan Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam,
اللَّهُمَّ أَعِنى عَلى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
Latin: Allahumma a’innii ‘alaa dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibaadatik.
Artinya: “Ya Allah, bantulah aku untuk senantiasa mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu.”(HR. At-Tirmidzi)
Dalam QS. Ibrahim: 7 sebelumnya disebutkan bahwa orang yang tidak bersyukur justru akan mengundang hukuman Allah. Hukuman terberat bagi orang beriman adalah saat terhalangnya dari banyak ketaatan. Dijadikan hatinya sempit dengan segala keadaan. Akhirnya semakin sulit baginya untuk melihat nikmat Allah yang begitu banyak untuknya.
Dalam kondisi demikian maka wajib bagi seseorang kembali kepada Allah dan merealisasikan syukurnya kepada Rabbnya.
Wallahu a’lam bi showab. []