NYARIS tak ada perdebatan ketika Abu Bakar Siddiq ra menjadi khalifah saat Rasulullah shalallahu alaihi wasallam meninggal. Walau muncul riak-riak dari mereka kaum munafik seperti enggan membayar zakat, tapi Abu Bakar tetap tegas dalam segala urusannya. Di samping itu, Abu Bakar mempunyai seorang Umar bin Khattab yang sanggup menjadi penyelesai kerikil-kerikil dalam dakwah Islam kala itu.
Begitu pun ketika Abu Bakar dipanggil Allah Azza Wa Jalla, tak banyak pula debat kusir siapa harus menggantikannya. Beliau menjadi satu-satunya kandidat yang paling memenuhi syarat di antara yang lainnya untuk menggantikan Abu Bakar.
Tibalah pada pergantian khalifah Umar bin Khattab, umat mulai terbelah dengan keraguan yang begitu tinggi: Siapa di antara Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Saad bin Malik, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, dan Thalhah bin Ubaidillah?
Ini berdasarkan dari perkataan Rasulullah sebelum wafat, “Hai umatku, Abu Bakar sedikitpun tak pernah mengecewakanku, maka ketahuilah haknya itu. Hai umatku, aku ridho kepada Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Ustman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Saad bin Malik, Abdurrahman bin Auf, serta Muhajirin yang mula pertama, maka ketahuilah hak mereka itu.” Abu Bakar dan Umar wafat, maka hanya tertinggal enam orang tersebut.
BACA JUGA: Belajar Berani dari Abdullah bin Umar
Abdurrahman buru-buru mengundurkan diri dengan menyatakan, “Hendaknya aku hanya ingin memilih saja, bukan dipilih.” Ia pun mendatangi rakyat untuk mengumpulkan opini dan kecenderungan rakyat. Di sinilah mulai terkuak sesuatu yang kelak menjadi pengulangan sejarah beradab-abad kemudian bahkan sampai kini. Di antara keenam orang itu, jelas Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib menjadi yang paling diutamakan—ini karena kelebihan-kelebihan mereka tentu saja. Tapi siapa: Ustman ataukah Ali?
Umat akhirnya memilih Ustman.
Seperti kita ketahui, Umar bin Khattab memimpin dengan cara yang ketat. Ia tak akan segan menyeret gubernurnya yang hidup mewah, bahkan memecatnya. Cara yang ditempuh oleh Umar adalah mengurangi keinginan untuk bersenang-senang, bahkan dalam hal-hal yang terhitung halal. Ini dilakukannya agar tidak terlena pada kenikmatan duniawi—bayangkan, Umar adalah seorang khalifah, dan ia mungkin tinggal menjentikan jari jika menginginkan sesuatu, tapi itu tidak ia lakukan.
Umar memulai dari dirinya sendiri, keluarganya, serta karib kerabatnya. Jika terdengar seorang pembesar yang hidup mewah, dengan segera dipanggilnya ke Madinah, kemudian diperkarakan. Bila di kemudian hari, pembesar itu masih melakukan hidup seperti itu juga, Umar memecatnya. Tujuan Umar jelas, agar umat menemukan pada pribadi pembesar mereka sebuah teladan yang membantu mereka untuk tidak terpikat oleh gelimang harta dan silau dunia.
Beberapa hari setelah diangkat jadi khalifah, Ustman teringat akan sebuah kejadian. Ketika hari yang panas menyengat, Ustman tengah berada dalam rumahnya, memandang keluar jendela dan dilihatnya seseorang yang menyusuri jalan. Ustman berpikir orang itu adalah seorang musafir, maka ia sudah menyiapkan diri untuk memanggilnya jika sudah dekat rumahnya, agar lelaki itu menepi dan berteduh dahulu, dan Ustman akan diberinya pertolongan dari kesusahan yang dialaminya.
Namun alangkah terkejutnya Ustman ketika mendapati lelaki itu adalah Amirul Mukminin Umar bin Khattab. Umar sempoyongan menghela seekor unta yang berjalan di belakangnya. Matahari jelas telah menyengat Umar sedemikian rupa. Ustman bergegas menghampiri Amirul Mukminin, “Dari mana engkau Amirul Mukminin?”
“Sebagaimana yang kaulihat,” jawab Umar tersenyum, “Ada seekor unta dari hasil zakat yang lepas dan melarikan diri. Hingga aku segera menyusulnya, kemudian membawanya pulang kembali.”
Ustman mengerutkan keningnya, “Bukankah masih ada orang lain selain engkau yang bisa melakukan pekerjaan itu?”
“Tetapi,” tukas Umar lagi, “siapakah yang bersedia menggantikan aku di pengadilan Illahi, kelak?”
Ustman meminta Umar untuk beristirahat sejenak menunggu panas matahari mereda. Tapi Umar bin Khattab menolak. “Kembalilah ke tempatmu, hai Ustman…” ujarnya.
Umar melanjutkan perjalanannya, meninggalkan Ustman, “Sungguh, engkau telah menyusahkan orang yang akan menjadi penggantimu, Amirul Mukminin…” gumam Ustman seraya tertunduk.
Ustman sadar sepenuhnya, bahwa orang-orang menyokongnya untuk menjadi khalifah—bukannya Ali bin abi Thalib. Itu disebabkan keinginan umat yang ingin bebas dari aturan dan gaya hidup yang diterapkan dan dijalani Umar bin Khattab selama ini. Jika Ali yang menjadi khalifah, maka akan merupakan kelanjutan sistem yang ditempuh Umar, yaitu tegas dan ketat.
Ustman berpendirian bahwa harta itu diciptakan untuk mempermudah dan memperlancar kehidupan. Selama harta itu halal dan diperbolehkan menikmatinya, ia mempersilakan umat untuk memperoleh kebahagian hidup dan kenikmatan dunia—tidak peduli ia pejabat, pembesar , atau rakyat biasa. Bagi Ustman, tidak ada alasan untuk memcat seorang gubernurnya yang hidup mewah dan mereguk kehidupan duniawi, selama ia tidak melakukan dosa dan berbuat salah. Ustman tidak seperti Umar yang menganggap harta kekayaan akan menimbulkan bahaya layaknya minuman keras.
BACA JUGA: Tawa Umar bin Khattab
Sejak kepimpinan Ustman, dimulailah kehidupan umat yang bergelimang harta dan sedikit demi sedikit, dan akhirnya sepenuhnya menjadi terbuka pada berbagai kecenderungan harta duniawi selama beratus tahun, dan mungkin sampai kini—mereka berpegang, bahwa Ustman pun, salah satu yang dikasihi oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam membolehkan hidup mewah. Namun umat lupa bahwa Ustman, yang membolehkan kehidupan mewah, tidak menjalani hidup mewah, hanya sedikit berkecukupan.
Ustman adalah seseorang yang peka terhadap keadaan dan kebutuhan orang lain, mendahulukan kepentingan orang banyak, lemah lembut, dan cerdas. Inilah yang tidak dicontoh dari umat berikutnya; mereka mengambil yang diperbolehkan Ustman bin Affan namun mengabaikan sifat Ustman yang demikian mulia. Mereka membolehkan diri hidup mewah namun sama sekali tidak peka terhadap kesulitan yang diderita umat. Wallohu alam bishawwab. []