LANDASAN halal-haram memang wahyu. Tapi ia bukan hanya soal pahala dan dosa, melainkan juga tentang sehat dan tidak sehat. Lalu bagaimana agar kita dapat mengecek makanan halal atau tidak?
Kaidah fiqih mengatakan bahwa semua sumber makanan asal hukumnya adalah halal, kecuali bila ada dalil yang mengharamkannya. Kriteria keharaman itu sendiri ada dua, yaitu haram karena zatnya (haram lidzati) dan haram karena sebab di luar zatnya (haram lighairihi). Haram karena zatnya bermakna benda itu memang diharamkan oleh Allah.
Misalnya, darah, daging babi, bangkai, dan sebagainya. Seperti firman Allah, “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah,” (QS Al-Baqarah : 173).
Sedangkan haram karena sebab di luar zatnya berarti zat itu mengandung mudharat bagi manusia, atau ia halal tapi didapatkan atau dikonsumsi dengan cara yang tidak sesuai dengan syariat. Seperti kata pimpinan lembaga pendidikan Islam Al-Qudwah, Amang Syafruddin Lc. M.Psi, “Walaupun zatnya halal, tapi caranya tidak dibenarkan, dari hasil mencuri atau merampok, itu hanya halal sekadar zatnya, namun ia menjadi haram karena cara memperolehnya tidak benar.”
Halal dan Baik
Lalu bagaimana pengaruh makanan halal pada kesehatan manusia? “Pada dasarnya,” ulas dr Agus Rahmadi, praktisi pengobatan holistik dan pendiri Klinik Sehat, Jakarta, “kita yakini bahwa semua yang diperintahkan Allah pasti untuk kebaikan ciptaan-Nya.”
Ketika Allah memerintahkan untuk mengonsumsi makanan yang halal dan menjauhi makanan haram, itu juga untuk kebaikan manusia sendiri.
“Lalu,” imbuhnya lagi, “kalau kita perhatikan, anjuran mengonsumsi makanan yang halal selalu digandengkan dengan sifat makanan yang baik atau thayyib.” Agus merujuk pada firman Allah, “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi,” (QS Al-Baqarah [2]: 168).
Bisa jadi suatu zat tidak diharamkan, tapi tidak baik. Beberapa makanan halal yang tidak baik, ada yang pada akhirnya oleh para ulama difatwakan haram; dan ada beberapa yang tidak difatwakan haram tapi tetap tidak dianjurkan oleh medis.
“Kita lihat tembakau, secara zat tidak diharamkan. Dia menjadi haram karena diolah menjadi rokok yang dampaknya sangat buruk bagi kesehatan, karena itu akhirnya dia diharamkan,” jelas Agus. Untuk contoh kedua, Agus menunjuk pada bahan pengawet dalam makanan kemasan. “Bahan pengawet tidak haram, tapi tidak dianjurkan,” ujarnya.
Lebih lanjut, Agus menguraikan bahwa zat yang tidak baik bisa berlaku umum dan bisa berlaku khusus, tergantung pada kondisi orang tersebut. Bahan pengawet adalah zat tidak baik yang berlaku untuk semua orang, sedangkan gula menjadi tidak baik untuk orang dengan diabetes.
Jadi, makanan halal adalah makanan yang baik bagi manusia, namun harus juga menyertai kriteria thayyib, baik thayyib secara umum ataupun khusus. Sedangkan apa yang Allah haramkan secara umum adalah zat yang akan berakibat buruk pada kesehatan manusia.
Dalam sebuah riwayat, Imam Ahmad pernah ditanya, apa yang harus dilakukan agar hati mudah menerima kesabaran? Beliau menjawab, “Dengan memakan makanan halal,” (Thabaqat Al Hanabilah). Di tempat lain, At Tustari, seorang mufassir, juga mengatakan, “Barang siapa ingin disingkapkan tanda-tanda orang yang jujur (shiddiqun), hendaknya tidak makan kecuali yang halal dan mengamalkan sunah,” (Ar Risalah Al Mustarsyidin).
Cara Cek Produk Halal
- Untuk mengecek restoran halal, Majelis Ulama Indonesia (MUI) meluncurkan cara mudah. Dengan memindai Quick Response Code (QR Code)yang dipajang di gerai-gerai makanan bersertifikat halal, konsumen bisa mengetahui nomor sertifikat, nama outlet, masa berlaku sertifikat halal, dan perusahaan pemilik restoran.
- Mengecek kehalalan produk kemasan bisa dengan 3 pilihan cara: (1) Buka laman www.halalmui.org lalu gunakan menu search, (2) Unduh aplikasi HALAL MUI di Play Store, dan (3) Cek nomor sertifikat halal MUI via SMS, ketik HALAL (spasi) MEREK, kirim ke 98555. []
Sumber: ummi