Wynni Jones, seorang mualaf Australia menceritakan pengalamannya sebagai muslimah berhijab di negeri Kanguru.
Istri dari Syahrial Umar, pria asal Aceh itu telah tiga tahun memeluk agama Islam. Dia sebelumnya mengikuti program pertukaran pemuda Australia-Indonesia (AIYEP) di Banjarmasin pada 2015. Di programitu juga lah dia pertama kali berkenalan dengan lelaki yang kini menjadi suaminya.
Sebagai muslimah, Wynni pun mengutarakan pandangannya soal hijab.
Dia mulai berhijab ketika berada di Banjarmasin. Awalnya hanya sekedar untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, namun kemudian hijab itu dia pertahankan hingga dirinya kembali ke Australia setelah beberapa bulan menetap di Yogyakarta.
BACA JUGA: Terpikat pada Hijab, Mantan Model Playboy ini Masuk Islam
Baginya menggunakan hijab adalah sebuah bentuk feminisme dan pilihan yang memberdayakan perempuan.
“Menggunakan jilbab menjadi bentuk penolakan perempuan sebagai obyek dan seksualisasi tubuh perempuan,” ujar Wynni, “Jadi hijab sebagai sebuah sikap politik, karena tubuh saya adalah milik saya sendiri dan tertutup untuk dikomentari dan dikritik.”
Keputusannya menjadi seorang Muslimah dan menggunakan jilbab mendapat dukungkan penuh dari keluarganya, meski kadang mereka khawatir karena adanya Islamophobia di Australia.
Pekan lalu, perempuan asal Kota Cairns, Queensland ini diundang menjadi salah satu pembicara di acara peringatan bagi korban serangan teror ke masjid di Christchurch, Selandia Baru yang digelar oleh warga Castlemaine, sebuah kota kecil di pedalaman negara bagian Victoria.
Sekitar 100 orang datang ke acara tersebut yang juga menjadi bentuk dukungan bagi kelompok minoritas lainnya, termasuk suku Aborigin Dja Dja Wurrung, pencari suaka, dan kelompok imigran yang kini menetap di Castlemaine.
Dalam pidatonya, Wynni mengatakan kebencian tidak dimulai dengan sebuah aksi teror, tapi lewat sikap diskriminasi.
“Kebencian dimulai dengan seseorang yang tidak ingin saya menggunakan jilbab, tidak ingin duduk di sebelah saya di tram, atau berteriak mengejek saya di jalanan,” kata Wynni.
Wynni mengatakan, di Castlemaine dengan penduduk kurang dari 7.000 orang, komunitas Muslim sangat sedikit jumlahnya dan dirinya merasa paling “terlihat” karena menggunakan hijab.
Namun, wanita yang kini sedang menempuh program Doktor di University of Melbourne untuk bidang studi hukum hak perempuan itu mengaku komunitas di kota kecilitu cukup solid.
“Solidaritas yang ditunjukkan komunitas (Castlemaine) sangat penting bagi saya pribadi karena mereka mengatakan menerima dan akan melindungi kami,” ujarnya yang sempat merasa takut dan khawatir setelah serangan di Christchurch.
BACA JUGA: Kisah Istri Pemain Kriket Muslim Pertama di Australia yang Putuskan Jadi Mualaf Tanpa Paksaan
Menurutnya kejadian di Christchurch telah membuat komunitas Muslim dan komunitas lain dari latar belakang dan keyakinan berbeda untuk bersatu dan saling dukung satu sama lain.
“Teroris sudah gagal, karena apa yang kita lihat malah kesatuan yang luar biasa dan kekuatan,” ujarnya, sambil berharap politisi Australia bisa merefleksikan kepemimpinan yang perlu dicontoh dari pemerintah Selandia Baru. []
SUMBER: ABC