BIDUK rumah tangga kerap dihiasi romantika dan problema. Tak jarang bahtera rumah tangga hancur karena tak kuat mengatasi ploblem yang ada. Namun, tak sedikit juga yang sanggup melalui segala macam problema dan menggapai kehidupan yang sakinah, mawwadah wa rahmah.
Selain, ketentraman, rumah tangga yang sakinah juga dihiasi oleh manisnya kasih sayang dan cinta. Mau tahu contohnya seperti apa? Mari kita tengok kehidupan rumah tangga Rasulullah SAW serta para sahabatnya.
BACA JUGA: Jadi Suami Romantis? Ini Dia 10 Caranya!
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai teladan utama dan pertama, meskipun memiliki banyak kesibukan dan kepadatan aktifitas sebagai seorang pemimpin sekaligus nabi, beliau tetap bisa menunjukkan sisi romantis dalam rumah tangga beliau dengan berbagai gambaran dan bentuknya. Romantisme yang digambarkan Rasulullah bukan hanya sekedar ungkapan cinta biasa, namun bagaimana cinta itu bisa menghantarkannya kepada cinta Allah SWT.
Aisyah radhiyallahu ‘anha mengisahkan tentang romantisme beliau ini dalam berbagai hadits.
“Dahulu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersandar di pangkuanku sedang aku dalam kondisi haid, lalu beliau membaca Al-Quran.” (HR. Bukhari; 297, dan Muslim; 301).
Dalam hadits lain, Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakr rahimahullah mengisahkan;
“Dahulu bila Aisyah radhiyallahu ‘anha marah, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa memijit hidung Aisyah dan beliau berkata, Wahai Aisyah, bacalah do’a: “Wahai Allah Tuhannya Muhammad, ampunilah dosaku, hilangkanlah kekerasan hatiku, dan lindungilah diriku dari fitnah yang menyesatkan.” (HR. Ibnu Sunni; 455, dha’if).
Meskipun hadits ini dha’if dari segi sanadnya, namun tetap memberikan inspirasi romantisme ukhrawi yang luar biasa. Kala sang istri sedang marah, Rasullullah SAW dengan baik dan bijak mengingatkannya agar berdoa dan mendekatkan diri kepada Allah.
Benarlah ucapan Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah tatkala berkata, “Ketahuilah, akhlak baik (yang hakiki) kepada wanita (istri) itu bukan dengan berusaha menghilangkan kesulitan / kesedihan dari dirinya, tapi lebih pada bersabar menanggung adanya rasa sedih (dan lelah) yang disebabkan olehnya, serta menahan diri untuk bersabar ketika ia menunjukkan kesalahan dan amarahnya, sebagai bentuk sikap peneladanan kita terhadap akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Mukhtashar Minhaj al-Qashidin: 78-79).
Inilah pokok utama yang diperintahkan Allah Ta’ala dalam firman-Nya yang artinya: “Dan pergaulilah mereka (istri-istri kalian) dengan baik.” (QS. An-Nisa’: 19).
Juga sering kali ditekankan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam berbagai haditsnya, diantaranya dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya, dan adapun orang yang paling baik di antara kalian adalah orang yang paling berbuat baik terhadap istrinya.” (HR. Tirmidzi; 1162, hasan shahih).
Redaksi lain dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha menyebut;
“Sesungguhnya merupakan orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan paling berlemah lembut terhadap istrinya.” (HR. Tirmidzi; 2612, shahih)
Sisi romantisme lain yang tak kalah indahnya adalah petunjuk yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para istri tatkala merasa menyakiti suaminya atau merasa tersakiti oleh suaminya, sebagaimana dalam hadits:
“Maukah aku memberitahu kalian tentang istri-istri kalian yang akan menjadi penduduk surga, yaitu yang penyayang, banyak anak (subur), dan banyak memberikan manfaat kepada suaminya; yang jika ia menyakiti suaminya atau disakiti, ia segera datang hingga berada di pelukan suaminya, kemudian berkata, “Demi Allah, aku tidak bisa memejamkan mata hingga engkau meridhaiku.” (HR. Nasai dalam Sunan Kubra; 9093, hasan).
Kisah lai yang tak kalah indah datang dari seorang sahabat Nabi, yaitu pasnagan Abu Darda dan ummu Darda.
Tatkala Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu menderita sakit di akhir hayatnya, sang istri tercinta, Ummu Darda’ ash-Shugra rahimahallah mengucapkan satu pinta suci.
“Wahai Abu Darda’, sesungguhnya engkau telah melamar diriku kepada kedua orang tuaku di dunia ini, lantas mereka menerimanya dan menikahkanmu denganku, sebab itu, aku ingin melamar dirimu (agar tetap menjadi suamiku) di akhirat kelak.”
Abu Darda’ menimpali, “Kalau begitu, maka janganlah menikah lagi sepeninggalku.” (Siyar A’laam an-Nubalaa’; 4/278).
Permohonan sederhana nan indah dari Ummu Darda’ ini melukiskan betapa indahnya biduk rumah tangga yang terbingkai oleh hiasan iman, taqwa dan ketaatan. Itulah yang harus senantias adijaga dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
BACA JUGA: Memaknai Romantisme Suami Istri
Romantisme terindah tidak hanya terletak pada sisi materi, kata-kata puitis, canda tawa, dan sederet trik keromantisan duniawi lainnya. Romantisme terindah itu lahir dari keimanan dan ketakwaan yang menghantarkan pada ridho Allah dan keberkahan.Maka, romantisme pasutri itu haruslah berorientasi pada akhirat, sikap taqwa, dan penyucian jiwa (tazkiyatunnafs) baik dengan saling ‘mendendangkan’ doa tatkala berdua, duduk berdua saling mengevaluasi ibadah dan kepribadian, mengerjakan ibadah dan ketaatan tertentu secara bersama-sama, ataupun sisi keromantisan ukhrawi atau agamis lainnya. []
SUMBER: BELAJAR ISLAM