Oleh: Rahmat Idrus
PADA prinsipnya seseorang akan duduk bersama orang-orang yang memiliki kecenderungan dan minat yang sama.
Maka kita akan menemui bila seorang pendusta, pencela, tukang gosip, akan duduk berkumpul sesama tukang pencela, tukang gosip, dan pendusta. Ini adalah sunnatullah. Selayak Abu Amir sang pemuka kaum Munafik mengumpulkan seluruh saudara semunafiknya di mesjid Dhihar. Soal persekongkolan mereka di abadikan oleh Allah dalam surat At Taubah ayat 107-108.
Dan kita juga akan menemukan kenyataannya seorang pemilik ilmu dan kebijaksanaan akan merasa nyaman duduk berkumpul dengan sesama pemilik ilmu dan kebijaksanaan. mereka saling menghormati serta mengambil hikmah dari sesamanya.
BACA JUGA:Â Pertemuan Dua Sahabat Nabi dari Zaman yang Berbeda
Hal ini tentunya sebuah keistimewaan tersendiri. Hari ini, ketika banyak orang berbicara pontang-panting, terengah-engah dan saling menuding soal kemazhaban yang paling benar menurutnya. Kita lupa, Imam Ahmad bin Hambal pernah menarik tangan anaknya untuk ikut duduk di majelis ilmu Imam Asy -syafi’i.
“Kesinilah! agar aku dapat memperlihatkan seseorang kepadamu yang matamu belum pernah melihat orang seperti itu sebelumnya,” ungkap beliau penuh ketakjuban. Beliau sangat menghormati Imam Syafi’i dan menyuruh sang anak ikut duduk dengannya mendengar kajian ilmu dari Imam Syafi’i.
Di kali lain beliau berkata kepada sahabatnya “Wahai Abu Ya’qub, pelajarilah ilmu dari asy syafi’i. sungguh kedua mataku ini tidak pernah melihat orang yang seperti dia di dalam dunia ini.”
Di saat yang berbeda, Imam as Syafi’i berkata penuh kejujuran soal Imam Ahmad:
“Aku keluar dari Baghdad dan tidak ada seorang pun yang aku tinggalkan di sana yang lebih bertakwa, lebih wara’, lebih faqih, dan lebih berilmu daripada Ahmad bin Hambal.”
Beliau pun melanjutkan, “Ahmad adalah seorang imam dalam delapan hal: Imam dalam Hadist, Imam dalam Fiqh, Imam dalam Bahasa, Imam dalam Alquran, Imam dalam Kefakiran, Imam dalam Kezuhudan, Imam dalam Kewara’an, dan Imam dalam Sunnah.”
Lihatlah bagaimana indahnya hubungan mereka berdua, cukuplah dengan perkataan imam Ahmad di salah satu majelis hadistnya, “Aku meriwayatkan hadist yang aku dengar dari As Syafi’i dari Malik dari Ibnu Syihab az Zuhri, dari Abdurrahman bin Ka’ab bin malik dari Ayahnya.. hingga seterusnya…”
Begitu besar ke-tsiqahan para imam dengan sesama para imam Mazhab lainnya hingga mereka saling meriwayatkan hadist dan ilmu dari sesama mereka. Bahkan di antara mereka saling menjadi guru dan murid.
BACA JUGA;Â Ibnu Abbas Menanyakan Satu Masalah kepada 30 Sahabat
Kalau kita, jangan-jangan kita lebih senang meriwayatkan gosip dan dusta dari teman-teman seduduk kita. Selayak:
“Dari si anu dari si linu dari si panu berkata:
“Tahu gak, bunga ini putus dari pacarnya lho? Omg. kabarnya karena orang tuanya gak restu.”
“Artis ini bercerai! karena suaminya main serong!”
“Ustadz itu kawin lagi, padahal anak dan istri pertama nafkahnya aja gak cukup!”
hadeuh…! []