Oleh: Pandu Wibowo
Penulis Buku “Menikmati Jalan Dakwah” panduwi@yahoo.com
DULU , Indonesia ini dikuasai oleh dua agama besar, yakni Hindu dan Budha. Tiba-tiba, Indonesia berubah dengan sangat cepat menjadi sebuah entitas daulah yang dimana mayoritas penduduknya adalah muslim.
Padahal 1400 tahun sebelumnya, tidak ada sejarah Islam satu pun yang masuk ke Indonesia, sementara peran Hindu dan Budha sangat kuat di nusantara. Bahkan ketika Portugis dan Belanda datang ke Nusantara, mereka memiliki tugas suci yang salah satunya menyebarkan agama Nasrani. Namun, tetap saja tidak bisa mengalahkan eksistensi agama Hindhu dan Budha tersebut.
Pertanyaan pentingnya sekarang adalah, apa cara yang dipakai para Wali Songo sehingga dengan sangat cepat, Nusantara ini menjadi negara bermayoritas muslim?
Dari fakta sejarah ini, kita harus sadar betul, bahwa merubah pemikiran pemilih mengambang atau orang-orang yang netral terhadap dakwah itu seharusnya lebih mudah ketibang apa yang dilakukan Wali Songo terhadap umat Hindu dan Budha sehingga merubah mereka masuk ke dalam agam Islam.
Artinya, banyak sekali kesempatan dan cara yang mungkin belum kita pakai untuk merekrut objek dakwah kita untuk masuk ke dalam lembaga dakwah kita, atau paling tidak menyukai sampai mendukung dakwah ini. Coba kita tanya ke hati kita masing-masing?
Pertanyaan pentingnya sekarang, apa cara atau alat yang dilakukan oleh para Wali Songo tersebut dalam mengislamisasi Nusantara dalam waktu sekejap, dan berefek sangat lama perubahan yang dilakukannya, dalam arti ini adalah perubahan menuju ke-Islaman?
Perlu diketahui bahwa tidak pernah sebuah otoritas dan legalitas sebuah lembaga atau organisasai dapat merubah orang dalam waktu singkat. Itu mengapa, agama Islam lebih kuat dan abadi dari sebuah otoritas pemerintahan, dalam kontek ini kita sebut negara. Itu juga sebabnya, sejarah nabi-nabi itu lebih abadi dari sejarah presiden, perdana menteri, bahkan raja-raja.
Kekuatan melakukan perubahan mereka itu terletak pada bagaimana merubah hati dan cara berfikir orang tentang kebenaran suatu agama, dan bukan menunjukan bahwa mereka memiliki program bagus, organisasi bagus, manajemen bagus, dan menjamin bahwa kita akan memiliki harta banyak.
Sederhananya, jika sewaktu-waktu otoritas ini mengecewakan sang objek, misalkan orang tersebut tidak mendapatkan yang dia mau ketika dia telah masuk di lembaga atau organisasi yang memiliki otoritas tersebut, otomatis dia akan kecewa dan keluar bahkan sampai membenci organisasi yang memiliki otoritas tersebut.
Namun berbeda, ketika kita menawarkan dan mentranser nilai-nilai spiritual agama ke relung hati mereka, objek dakwah kita. Mau lembaga dakwah kita difitnah, dikatakan tidak legal, kader-kadernya punya banyak aib dan kesalahan, pasti dia yang sudah terekrut tetap kuat dan istiqomah dalam dakwah ini. Karena pada awalnya nilai-nilai agama sudah mengikat hati dia.
Sama halnya dengan interaksi sang murobbi (guru) dan mutharobbinya (murid). Jika cara sang murobbi untuk mengikat mutharabbinya dengan kecerdasannya, pandai bicaranya, materi yang asik, sewaktu-waktu bisa saja mutharabbinya bosan dan jenuh karena dia sudah mendapatkan segala yang dia mau di halaqoh.
Namun berbeda, ketika sang murobbi mengikat sang mutaharabbi dengan Tuhannya langsung. Pasti tidak ada lagi kisah mutharabbi yang berguguran di majelis majelis ilmu. Karena urgensi liqo, majelis ilmu yang sebenarnya sudah didapat, yakni mengikat usrah di dalam majelis liqoan tersebut dengan ketahudian bukan kepribadian individu yang saling menonjolkan.
Pendekatan kita dalam berdakwah di lembaga dakwah inilah bukan harus berbasis program atau menampilkan kehebatan kader-kadernya. Namun lebih dari itu semua, yakni melakukan pendekatan berbasis spiritualitas dengan transfer nilai-nilai ketauhidan. Insya Allah dengan ini, perubahan yang kita lakukan mampu lebih lama dirasakan oleh lingkungan di mana kita berdakwah.
Setelah kita memahami cara dan alat kita dalam melakukan pendekatan perubahan tersebut, hal selanjutnya yang harus dilakukan adalah dengan memiliki pengaruh yang amat besar di tempat kita berdakwah.
Ketika Nabi Muhammad hanya baru seorang diri diintruksikan oleh Allah untuk menyebarkan Islam, hal yang dilakukan Rasul adalah membangun jaringan kemana-mana agar memiliki pengaruh yang luar biasa. Terbukti 13 tahun kemudian, 200 orang hijrah ke Madinah, 85 orang hijarah ke Habasyah, 70 orang yang berislam dari kaum Anshar sebelum hijrah, sampai pada tahun ke 10 beliau melakukan Hajatul Wada, jumlah pengikutnya mencapai 100.000 orang.
Artinya ada kelipatan perekrutan yang cukup signifikan dari pengaruh Rasulullah di Jazirah Arab pada saat itu. Sampai sekarang jumlah umat muslim di dunia sudah mencapai 1,9 miliyar orang, dan pada 2050, para pengamat semua sepakat bahwa Islam akan menjadi agama mayoritas dunia.
Pelajaran penting yang kita harus ambil adalah, kita harus memiliki pengaruh yang cukup besar di dalam dakwah ini. Bahkan sampai kita sudah demisioner dari lembaga dakwah kita, pengaruh kita masih harus tetap ada dan dirasakan banyak kader dan orang-orang pada umumnya. Itulah jiwa kepemimpinan yang harus kita miliki. []
NOTE: Tulisan ini adalah kiriman pembaca.
Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri.