Oleh: dr Fanni Fathihah
“NAMA saya Teguh Sanjaya, tapi orang-orang memanggil saya Ujang,” jawabnya di suatu pagi ketika saya menanyakan namanya.
Kutaksir usianya sekitar 60 tahun. Rambut putih, gigi mayoritas hilang dan pipi yang kemput. Namun masih menyisakan guratan seorang pekerja keras, sesuai dengan namanya ; Teguh. Tubuhnya masih meninggalkan otot-otot yang kekar meski keriput dengan urat-urat nadi menonjol di tangan. Jangan tanya tapak tangannya, pastilah tak sehalus Robert Tantular sang pembobol Bank Century. Dengan baju lusuh dan celana selutut yang juga lusuh, setiap pagi berkeliling RT kami mendorong gerobak besar berisi sampah.
“Rajin!” itulah komentarku kepada istri melihat kinerja Pak Tua ini dibandingkan beberapa pendahulunya. Selama empat tahun tinggal di perumahan ini, tukang sampah sering berganti-ganti. Mungkin ada sistem rotasi di 12 RT yang ada di perumahan. Entahlah.Yang jelas usia mereka terpaut jauh dari Pak Tua. Namun tak seorang pun yang memuaskan saya. Kebanyakan mereka hanya membawa sampah yang sudah dibungkus plastik. Celakanya, para pemulung sering mengobrak-abrik plastik tersebut sehingga sampah berceceran. Jadilah sampah kami tak dibawa, dibiarkan menumpuk. Beda dengan Pak Tua yang mengorek habis sampah kami. Berbekal “alat khusus”, dia membawa sampah meski tidak dibungkus plastik.
Dari “absensi” pun begitu. Pendahulunya saya perhatikan sering absen, beda dengan Pak Tua yang sampai saat ini absensinya masih bagus, mengalahkan absensi para wakil rakyat di Senayan.
Pernah suatu hari saya meminta bantuannya. Yaitu mengangkut sampah bekas kebun samping rumah. Sampahnya cukup banyak sehingga saya biarkan menumpuk di halaman. Setelah selesai memasukkan semua sampah ke dalam gerobak sengaja saya tak langsung memberi uang tips. Saya ingin lihat responnya. Pak Tua dengan senyum khas berlalu setelah saya mengucapkan terima kasih. Dia tidak meminta uang! Berbeda dengan beberapa orang yang saya minta bantuannya, selalu berharap imbalan jasa. “Pak,ini uangnya, terima kasih ya?” kata saya setelah ia keluar pagar.
“Sama-sama,” ucapnya senang dan berlalu.
Pak Tua pengangkut sampah, salutku padamu. Meski sudah tua, kau tak mau berpangku tangan, seperti kebanyakan orang-orang yang beredar di persimpangan, menengadahkan tangan padahal memiliki fisik yang bugar. Kau tetap menjemput rezeki Allah. Pekerjaanmu memang bergelimang kotoran, tetapi kuyakin hasilnya bersih. Berbeda dengan mereka-mereka yang bekerja di tempat bersih dan wangi tapi menghasilkan sesuatu yang kotor.
Pak Tua pengangkut sampah, salutku padamu. Semestinya kau bisa menjadi cermin generasi muda dalam kekuatan, keteguhan dan keberanian mengarungi hidup. Karena banyak di antara kami yang lemah dan mudah putus asa, kemudian melampiaskannya ke narkoba atau menenggak racun serangga.
Pak Tua pengangkut sampah, salutku padamu.Sungguh aku tak tahu hubunganmu dengan Allah. Tapi kuyakin engkau,walau tak pernah ku dengar menyebut namaNya,telah melaksanakan sebagian perintahNya.Berbeda dengan mereka-mereka yang begitu fasih menyebut-nyebut nama Allah, hanya ketika mendapat masalah. []