Oleh: Siti Nur Rosifah
Mahasiswi Program Studi Ilmu Ekonomi Islam FEUI 2013, Peserta Program Pembinaan SDM Strategis (PPSDMS) Angkatan VII
sitinurrosifah@gmail.com
PERMISALAN kaum mukminin dalam saling mencintai, saling menyayangi, dan saling berlemah lembut seperti satu tubuh; apabila salah satu anggotanya sakit maka menjadikan seluruh tubuhnya demam dan tidak bisa tidur. (Muttafaqun ‘Alaihi)
Sendiri. Bayangkanlah ketika kita mengunjungi suatu tempat yang belum pernah kita kunjungi. Kita merasa sendiri dan tidak tahu harus berbuat apa di tempat itu dengan tanpa memiliki sedikitpun harta. Kita tidak mempunyai perbekalan, tidak mempunyai kawan, bahkan tidak mengetahui daerah dimana kita berada. Tiba-tiba, di saat yang seperti itu kita dipersaudarakan oleh seseorang yang begitu baiknya menganggap kita seperti saudaranya sendiri. Dia menawarkan setengah dari harta kekayaannya yang begitu banyak, bahkan menawarkan sesuatu yang amat dicintainya.
Adalah Abdurrahman bin Auf, sahabat Rasulullah yang hijrah dari Mekah ke Madinah tanpa membawa apapun. Sama seperti beberapa sahabat lainnya; Bilal dengan Abu Ruwaihah, Abu Bakar dengan Kharija bin Zaid, Umar dengan Itsban bin Malik, maka Abdurrahman bin Auf dipersaudarakan (taakhi) dengan Sa’ad bin Rabi’ oleh Rasulullah. Di awal kedatangannya di Madinah, Rasulullah mempersaudarakan kaum Anshar dengan kaum Muhajirin. Persaudaraan itu dilakukan tanpa melihat apakah mereka itu kaya atau miskin, tua atau muda. Rasulullah mempersaudarakan mereka atas dasar akidah Islam yang sama-sama dianut. Dalam persaudaraan tersebut, mereka memiliki hak dan kewajiban untuk saling membantu dan mengingatkan dalam hal kebaikan yang diridhoi Allah. Saling mendukung ketika salah satu dari mereka mengalami kesulitan.
Abdurrahman bin Auf tentu merasa sangat bahagia dipersaudarakan dengan Sa’ad bin Rabi’. Sa’ad sendiri merupakan salah satu dari kaum Anshar yang paling kaya di Madinah. Kebun kurma, gandum, hingga unta dan domba yang dimilikinya sangatlah banyak. Berbeda dengan kondisi Abdurrahman bin Auf yang tidak memiliki apa-apa kala itu.
Ketika tiba di Madinah dan dipersaudarakan dengan Abdurrahman bin Auf, Sa’ad menawarkan harta yang dimilikinya itu kepada Abdurrahman. Sa’ad berkata kepada Abdurrahman, “Sesungguhnya aku adalah orang yang paling banyak hartanya di kalangan Anshar. Ambillah separuh hartaku itu menjadi dua. Aku juga mempunyai dua istri. Maka lihatlah mana yang engkau pilih, agar aku bisa menceraikannya. Jika masa iddahnya sudah habis, maka kawinilah ia..” Kemudian Abdurrahman menjawab, “Semoga Allah memberkahi bagimu dalam keluarga dan hartamu. Lebih baik tunjukkan saja mana pasar kalian?”.
Lihatlah betapa indahnya persaudaraan diantara mereka yang terjalin tanpa memandang harta. Sa’ad yang mempunyai banyak harta tidaklah merasa berat untuk membagi apa yang dimilikinya kepada saudaranya. Akan tetapi, dari sisi Abdurrahman yang ditawari harta tersebut pun tidak serta-merta menerima pemberian dari saudaranya dengan cuma-cuma. Abdurrahman lebih memilih untuk berusaha dengan meminta Sa’ad menunjukkan letak pasar.
Tidak mudah untuk bersikap seperti apa yang ditunjukkan oleh dua orang yang dipersaudarakan tersebut. Mengorbankan apa yang dimilikinya dan begitu dicintainya demi saudaranya. Dan tetap berusaha untuk bekerja dengan kemampuan kita sendiri dibanding menerima begitu saja pemberian saudaranya tanpa berusah, padahal pada saat itu Abdurrahman benar-benar tidak memiliki apapun dan tidak mengetahui daerah dimana ia berada. Abdurrahman tidak mau disuapi ikan terus menerus, ia hanya ingin diberi kail untuk memperoleh ikan dengan usahanya.
“Terimakasih saudaraku. Aku menghormati keputusanmu untuk membagi dua harta milikmu. Semoga Allah memberkahimu. Tapi aku tidak bisa menerimanya. Rasulullah mengajarkan ku untuk selalu hidup di atas kekuatan kaki ku sendiri. Sekarang aku hanya ingin kau mengantarkanku ke pasar. Aku akan berdagang,” kata Abdurrahman dengan santun. Kemudian Sa’ad mengantar Abdurrahman ke pasar Bani Qainuqa, pasar terbesar di kota Madinah.
Dalam kehidupan modern seperti saat ini, dimana banyak orang selalu melihat kedudukan orang lain berdasarkan harta yang dimiliki, sudah saatnya kita meneladani persaudaraan yang terjalin antara Abdurrahman bin Auf dan Sa’ad bin Rabi’. Persaudaraan yang memang dilandasi oleh keyakinan terhadap Allah yang begitu tinggi. Persaudaraan yang terjalin tanpa memandang materi. Persaudaraan yang membawa pada penguatan ukhuwah antarmuslim.
Ingatlah sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Bukhari, “Salah seorang diantara kalian baru sempurna imannya manakala ia mencintai kepentingan saudaranya seperti mencintai kepentingan dirinya sendiri.” Maka, sebagai seorang muslim yang hidup di negara yang majemuk seperti Indonesia ini sudah sepantasnya kita berusaha mencintai kepentingan saudara kita sesama muslim jika mereka membutuhkan pertolongan. Jika memungkinkan, strategi yang dilakukan oleh Rasulullah untuk membuat taakhi dapat kita contoh di zaman ini. []
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.