“Lho kok anaknya sekolah di sana Mba? Kan katanya sekolah di sana anaknya kagak bisa apa apa, nggak siap pakai,” ujar seseorang pada salah satu orangtua siswa.
Sudah sering kami menerima laporan ucapan ucapan demikian. Itu sudah jadi santapan hari hari kami. Biasa saja sebenarnya, dalam hidup romantika nya begitu ada yang pro ada yang kontra.
Saya diskusi dengan sahabat saya Bu H. Habibah. Kami belajar banyak dari anak-anak. Mereka membuat mata kami terbelalak. Kadang nggak percaya jika kami tak melalui proses ini sendiri. Mereka nggak diapa-apain sebenernya, tapi efeknya luar biasa.
Suatu hari saya mendapati seorang anak spesial need agak berat. Sebut saja dia N. Saat itu, N tiba-tiba menangis karena dia belum bisa bicara. Bu Guru sedang membantu teman yang lain. Tiba-tiba anak spesial need agak ringan menghampiri, M. Dia mendekati N. Saya terus perhatikan mereka. Tiba-tiba, M segera memeluk N yang tangisnya makin keras. M memeluk sembari mengusap-ngusap punggung, juga kepala N. Hingga tangis N berhenti dan kembali ikut kegiatan.
Saya ucapkan selamat, sambil tenggorokan ini serasa tercekat. Kedua anak perempuan spesial need ini “menampar” otak saya. M luar biasa sekali, dia lebih dari sekedar empati. Dia tahu N sedih, dia membantu Bu Guru menenangkannya.
Begitulah anak-anak kami di sekolah. Mereka memiliki lebih dari sekedar empati. Padahal kami nggak suruh-suruh mereka, “Kalau temen kamu nangis, peluk ya, empati dong sama teman.” Tidak sama sekali, guru tak lakukan itu.
Guru hanya memodelkan, memberikan pijakan dan mengapresiasi sekecil apapun hal positif yang mereka lakukan. Tanpa bentakan, tanpa hukuman, tanpa larangan dan suruhan, anak anak berkebutuhan khusus pun bisa lebih dari sekedar empati. Ini modal penting untuk hidup mereka kelak. []