ADA hal menarik dalam beberapa kunjugan Syaikh Sudais (imam Masjidil Haram – Mekah) ke Indonesia sekitar tahun 2000-an. Beliau menjadi imam shalat yang dikeraskan bacaannya seperti Maghrib, Isya’, dan Shubuh, beliau selalu membaca surat Al-Fatihah dengan mengeraskan bacaan “basmalah”nya. Di kunjungan yang lain, pada tanggal 31 Oktober 2014, beliau sempat mengimami shalat Jum’at di Masjid Istiqlal – Jakarta, dengan menjahrkan (mengeraskan) basmalah para surat Al-Fatihah. Padahal beliau adalah seorang ulama yang bermadzhab Hanbali yang merupakan madzhab mayoritas penduduk Saudi Arabia. Dimana dalam madzhab Hanbali, “basmalah” dibaca sirr (dilirihkan).
Bahkan menurut informasi sebagian ustadz yang menyertai beliau, syaikh Sudais pernah mengimami shalat Shubuh dan beliau melakukan qunut Shubuh di rekaat kedua. Padahal dalam pandangan madzhab Hanbali yang beliau anut, Qunut Shubuh tidak disyari’atkan. Beliau juga meletakkan tangan beliau saat berdiri dalam shalat di atas pusar dan di bawah dada, sesuai dengan madzhab Syafi’i.
BACA JUGA: Doa Ibu, di Balik Syeikh Sudais
Semua ini membuktikan, bahwa beliau sangat mengerti jika mayoritas penduduk Indonesia bermadzhab Syafi’i. Sehingga beliau memandang perlu untuk melapangkan dada serta mengalah dalam masail khilafiyyah dengan mengamalkan sebagian pendapat penduduk negeri yang beliau kunjungi dalam rangka untuk merealisasikan kemaslahatan serta meminimalisir kerusakan atau fitnah yang mungkin akan terjadi. Persatuan serta kondisi yang kondusif yang telah ada harus dijaga, jangan sampai dihancurkan hanya karena issue-issue khilafiyyah seperti ini.
Sangat mungkin Syaikh telah membaca apa yang dinyatakan oleh Imam Ibnu Qayyim – rahimahullah- tentang bagaimana beliau menyikapi masalah Qunut Shubuh :
وَيَقُولُونَ: فِعْلُهُ سُنَّةٌ وَتَرْكُهُ سُنَّةٌ، وَمَعَ هَذَا فَلَا يُنْكِرُونَ عَلَى مَنْ دَاوَمَ عَلَيْهِ، وَلَا يَكْرَهُونَ فِعْلَهُ، وَلَا يَرَوْنَهُ بِدْعَةً، وَلَا فَاعِلَهُ مُخَالِفًا لِلسُّنَّةِ، كَمَا لَا يُنْكِرُونَ عَلَى مَنْ أَنْكَرَهُ عِنْدَ النَّوَازِلِ، وَلَا يَرَوْنَ تَرْكَهُ بِدْعَةً، وَلَا تَارِكَهُ مُخَالِفًا لِلسُّنَّةِ، بَلْ مَنْ قَنَتَ فَقَدْ أَحْسَنَ، وَمَنْ تَرَكَهُ فَقَدْ أَحْسَنَ
“Mereka (ahli hadits) mengatakan : bahwa melakukannya (qunut Shubuh) adalah perbuatan sunnah, dan meninggalkannya juga perbuatan sunnah. Maka, mereka tidak mengingkari orang yang mendawamkan (terus-menerus/membiasakan) qunut Shubuh, tidak benci untuk melakukannya, tidak menganggap bid’ah, dan juga tidak menganggap orang yang melakukannya termasuk menyelisihi sunnah, begitu juga sebaliknya. Bahkan orang yang qunut itu bagus, dan yang meninggalkannya juga bagus.” [Zadul Ma’ad : 1/266]
Hal ini juga menunjukkan akan pentingnya hikmah dalam menerapkan sebuah ilmu di tengah masyarakat. Terkadang, ada suatu ilmu yang kita yakini, akan tetapi mungkin kita tidak bisa atau belum bisa mengamalkannya. Karena dalam pegamalan ilmu – khususnya dalam masalah khilafiyyah – perlu untuk menimbang kemaslahatan serta kerusakan yang akan timbul serta memperhatikan situasi dan kondisi di mana ilmu itu akan diterapkan.
BACA JUGA: Kemarahan Ibu terhadap Syeikh Abdurrahman AsSudais
Imam Ibnu Hajar Al-Haitami –rahimahullah- pernah bermakmum di belakang orang yang beda madzhab. Lalu ada seorang yang bertanya : “Wahai Imam ! anda berfatwa makruhnya seorang bermakmum kepada imam yang beda madzhab, tapi anda melakukannya ?”. Maka beliau menjawab : “Itu ilmu(ku), dan ini amal(ku).”
Jika Syaikh Sudais saja yang berkewargaan Saudi dan bermadzhab Hanbali bisa menghormati dan mengambil sikap yang demikian sejuk dan penuh hikmah, seharusnya kita sebagai penduduk negeri ini harus lebih bisa lagi. Semoga Allah membalas syaikh Sudais dengan kebaikan yang melimpah. Aamiin. []
Facebook: Abdullah Al-Jirani