Oleh:Reza Zulfikar Wibisono S.IP
Analis Media at Indonesia Indicator
“AKAR dari berprasangka buruk terhadap orang lain adalah berprasangka buruk terhadap diri sendiri. Dan akar dari berprasangka baik terhadap orang lain adalah berprasangka baik terhadap diri sendiri.”
Suatu ketika, pada masa setelah perang al-Muraisi, ada kisah menarik, suatu kisah yang menceritakan tentang adanya fitnah yang menerpa ibunda kita, Aisyah ra. Sebagian sahabat pasti sudah pernah mendengarnya.
Ya, kisah ketika istri Rasulullah SAW, Aisyah ra harus tertinggal dengan para rombongan safar dalam perjalanan pulang kembali ke Madinah. Kemudian, seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam yang bernama Shafwan bin al-Mu’aththal as-Sulami, yang kebetulan menjadi peronda pasukan bagian belakang, menemukan tertinggalnya Aisyah ra dari rombongan.
Shafwan pun lalu menolong Aisyah ra dengan menunggangkanya ke untanya lalu menuntunkan unta tersebut hingga mereka dapat menyusul rombongan pasukan yang sedang singgah di sebuah tempat bernama Nahruzh Zhahirah.
Singkat cerita, disinilah awal mula fitnah itu muncul. Melalui mulut munafikin Abdullah bin Ubay bin Salul desas desus itu mulai segar di sebarkan.
“Apa yang dilakukan oleh perempuan muda, istri dari seorang lelaki tua, bersama dengan seorang pemuda yang lebih tampan dari suaminya”. Seperti itulah wujud fitnah yang mulai disebar luaskan oleh para munafikin sehingga membuat kabar simpang siur itu makin gencar mewabah di kota madinah.
Di sinilah Allah menguji keimanan para penduduk madinah. Bagaimana mereka bersikap terhadap kabar berita tersebut merupakan bagian dari wujud keimanan mereka itu sendiri. Maka, disinilah Allah memuji orang–orang yang berprasangka baik terhadap dirinya sendiri. Mengapa tersebut orang–orang yang berprasangka baik terhadap diri sendiri?
Karena, “Akar dari berprasangka buruk terhadap orang lain adalah berprasangka buruk terhadap diri sendiri. Dan akar dari berprasangka baik terhadap orang lain adalah berprasangka baik terhadap diri sendiri.”
Mengapa seseorang berprasangka buruk terhadap orang lain? Kata Syaikh Musthafa Ash-siba’i, karena dia membayangkan kalau seandainya dirinya menjadi orang yang disangkai tersebut, maka dia akan melakukan keburukan itu. Begitu pula sebaliknya bagi mereka yang berprasangka baik.
Jadi, coba kita ingat–ingat lagi ketika kita sedang berprasangka buruk terhadap orang lain.
misal, ah si A bisa cepat kaya kerja di instansi itu, paling – paling juga karena korupsi, kan itu instansi basah. Atau kita sebut si B, ah dia sudah tinggal di kota besar itu, pasti dia sudah melakukan keburukan ini dan itu.
Jangan2 ketika kita bisa berburuk sangka seperti itu karena membayangkan seandainya kita menjadi dia atau berada di posisinya, kita sudahlah pasti akan melakukan hal tersebut.
Oleh karenanya, dalam peristiwa tadi, Allah memuji keluarga Ayyub.
Abu Ayyub Bertanya kepada Ummu Ayyub begini:
Abu Ayyub: Wahai Ummu Ayyub, kalau engkau menjadi Aisyah, kira – kira peristiwa tersebut terjadi atau tidak?
Ummu Ayyub: Subhanallah, Ak ini wanita yang memandang Zina sebagai perbuatan yang sangat keji, sejelek–jelek ak naudzubillah, dalam hati q sama sekali tidak ada perasaan bahwa zina itu adalah suatu perbuatan yang baik dan dia adalah jalan yang sangat buruk.
Abu Ayyub: Kalau begitu Aisyah lebih tidak mungkin lagi, karena ia lebih baik daripada kamu.
Lalu Ummu Ayyub pun membalas kepada Abu Ayyub,
Ummu Ayyub: wahai Abu Ayyub, kalau engkau menjadi Shafwan, apakah peristiwa itu terjadi atau tidak?
Abu Ayyub: Subhanallah, bagaimana mungkin ak mengkhianati junjungan q sendiri, “Rasulullah SAW”, dengan menista keluarganya. Naudzubillahi min dzalik. Tidak mungkin itu terjadi!!
Ummu Ayyub: nah, kalau begitu Shafwan lebih tidak mungkin lagi, karena Shafwan lebih baik daripada km.
Oleh karenanya, mari mulai sekarang kita jaga prasangka–prasangka buruk terhadap saudara kita.
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain. Dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12)
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Hurairah). []
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.