KIPRAH Hamka dalam perjuangan nasional sepanjang 1945-1949 kian meningkat berbarengan dengan terjadinya perang revolusi menentang kembalinya Belanda yang terus kian merebak di seluruh Tanah Air. Pada 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional dengan anggota Chatib Sulaeman, Udin, Rangkayo Rasuna Said, dan Karim Halim.
Selain itu, Hamka juga diangkat Wakil Presiden Mohammad Hatta sebagai sekretaris Front Pertahanan Nasional yang merupakan gabungan dari berbagai partai politik. Ketua front ini adalah Bung Hatta sendiri.
Selanjutnya, Hamka membentuk Badan Pembela Negara dan Kota (BPNK) yang merupakan barisan perlawanan gerilya terbesar di wilayah Sumatra Barat. Hamka sendiri sangat aktif bergerilya dan hampir tidak pernah bisa ditemui di satu tempat tetap.
BACA JUGA: Belajar Jatuh Cinta dari Istri Buya Hamka (1)
Kekuatan cinta Buya Hamka dan Siti Raham kembali diuji saat tentara Belanda menduduki Padang Panjang tahun 1948. Akibat serangan itu, Buya Hamka dan Siti Raham harus berpisah.
“Ayah mengungsikan kami ke kampung Sungai Batang. Sementara beliau sendiri berkeliling di daerah pedalaman, menjadi juru penerangan rakyat dalam kedudukan beliau sebagai Ketua Front Pertahanan Rakyat,” kata Rusydi Hamka.
Selama berbulan-bulan, Buya Hamka tidak dapat bertemu dengan keluarganya. Mereka sendiri tidak mengetahui di mana rimba Buya berada. Tinggal di kampung dalam blokade Belanda benar-benar menjadi pengalaman berat bagi Siti Raham. Terlebih Siti Raham belum pandai bertani seperti orang-orang kampung lainnya.
Saat itu, untuk mengganjal perut, anak-anak Hamka hanya bisa memakan ubi dan bubur. Mereka harus bisa menahan rasa lapar di tengah perjuangan Buya Hamka. Waktu itulah, Aliyah nyaris menemui ajalnya. Terlalu sering mengkonsumsi ubi, membuat Aliyah terserang penyakit. Alhamdulillah, Aliyah berhasil selamat berkat pengobatan dukun kampung.
Syukurlah, krisis itu tidak berlangsung lama. Januari 1950, mereka pindah ke Jakarta pasca pengakuan kedaulatan. Pindah dengan jarak yang jauh, Buya Hamka membawa serta istri dan anak-anak mereka. Di Jakarta, Buya Hamka dan Istri menyewa di rumah Gang Toa Hong II, Sawah Besar.
BACA JUGA: Segenggam Maaf Hamka untuk Yamin
Setelah menetap di Jakarta, Buya Hamka mendapatkan tawaran untuk duduk di jajaran pemerintahan. H. Abu Bakar Aceh yang saat itu Pegawai Tinggi kementerian Agama mengajaknya masuk ke lembaga pemerintahan itu. Kala itu, KH. Wahid Hasyim menjadi Menteri Agama.
Setelah berpikir panjang, Buya Hamka menerima tawaran itu. Jabatan ini menjadi sejarah baru Buya Hamka masuk ke ranah pemerintahan. Beliau bersyukur karena memperoleh kedudukan sebagai pegawai tinggi meski dirinya tidak pernah mengantongi ijazah apapun.
Berstatus sebagai pegawai pemerintah, aktivitas Buya Hamka semakin lama semakin padat. Berkat kepiawaiannya berdakwah, Hamka banyak diundang ke berbagai tempat untuk ceramah. Buya Hamka juga mendapatkan kesempatan untuk keliling negara. Termasuk mengunjungi Amerika selama empat bulan.
Berkat keluasan ilmunya, Buya Hamka ditunjuk menjadi dosen di sejumlah perguruan tinggi Islam. Berbagai perguruan tinggi bergengsi menjadi tempat Buya Hamka menularkan ilmunya. Di antaranya Universitas Islam Jakarta, PTAIN Yogyakarta (sekarang UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), Universitas Muhammadiyah Padang Panjang, dan Universitas Muslim Ujung Pandang.
Pada fase inilah, Buya Hamka kemudian mulai aktif berkiprah menjadi pengurus Partai Masjumi. Ini bukanlah kiprah politik Hamka pertama kali. Sebab pada tahun 1925, Hamka sudah tercatat sebagai anggota partai politik Sarekat Islam.
Hamka langsung melejit sebagai politisi muslim di Masjumi. Pada tahun 1955, gagasan-gasannya dalam Islamisasi negara banyak membakar semangat kaum muslimin. Pidato-pidatonya, keras, bernas, dan menggelagar. Hal ini membuat Soekarno murka.
“Adalah satu hal yang sangat tidak bisa diterima akal; mengaku diri Islam, mengikut perintah Allah dalam hal sembahyang (shalat) tetapi mengikuti teori manusia dalam pemerintahan…” demikian kata Buya Hamka.
Akibatnya, kursi Buya Hamka di Kementerian Agama mulai digoyang. Sembilan tahun menikmati posisi sebagai pegawai, Buya Hamka akhirnya harus menerima pil pahit. Soekarno mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang menjadi akhir karir Buya Hamka di Kementerian Agama.
Saat itu, Soekarno meminta para pegawai untuk memilih: tetap menjadi pegawai atau anggota partai. Buya Hamka bimbang. Pilihan ini cukup sulit baginya. Inilah tekanan nyata bagi para aktivis Masjumi.
BACA JUGA: Buya Menshalati Jenazah Bung Karno
Dalam keadaan bimbang itu, Siti Raham tampil menenangkan Buya Hamka. Dengan tenang dan sabar, Siti Raham memotivasi suaminya. Dia menjadi tempat bersandar saat Buya resah. Tidak ada paksaan darinya agar Buya tetap mengikuti keinginan Soekarno. Padahal, mereka baru saja merasakan kenikmatan dengan hidup berkecukupan di Jakarta. Dengan lembut namun tegas, Siti Raham berkata: “Jadi Hamka saja!”
Begitulah Siti Raham menuntaskan posisinya sebagai istri. Bijak, sabar, dan setia. Dia selalu menjadi motivator di balik keteduhan suaminya. Siapa sangka, Buya Hamka mantap atas pilihannya. Setelah menimbang maslahat dan mudharatnya, Masjumi menjadi pilihan utama Buya. Di depan anak-anaknya, Buya Hamka berujar, “Kita tidak akan mati karena tidak lagi menerima gaji dan beras dari pemerintah. Tuhanlah yang menjamin hidup makhluknya!”
Satu hal yang direkam Rusydi Hamka, Buya tidak pernah memikirkan bagaimana nanti masalah gaji dan uang pensiun saat mengambil keputusan itu. “Dia tidak bimbang sedikitpun, padahal kita semua termasuk ibu justru mencemaskan hal itu,” papar Rusydi. []
HABIS