Oleh: Bagas Triyatmojo
SUDAH beberapa pekan ini, saya berkenalan dengan seseorang yang pekerjaannya housekeeping. Sebut saja namanya bapak Panter. Kamu bisa bilang beliau adalah pembantu, karena memang sebagian besar pekerjaannya adalah membantu, tapi saya lebih senang mengenalnya sebagai teman bicara, karena di waktu -waktu senggang, beliau banyak bercerita dan mengobrol dengan saya. Ditambah dengan keramahannya, lengkaplah sudah, beliau menjadi teman bicara yang sangat menyenangkan.
Di suatu malam, ketika beliau membawakan kami makanan, beliau duduk dan ikut berbincang dengan kami. Setelah lama kami berbincang, beliau berkata, “kalau bapak pulang malem gini ke rumah, biasanya anak udah nunggu, terus tanya tanya, ‘Pah, Pah, bawa kueh ngga?’. Kalo lagi ada kue ya dimakan bareng, kalo lagi ngga ada, ya senyum senyum aja.”
Memang, ketika beliau membawakan kami makanan, atau kue-kue, terkadang ada lebihnya, namun terkadang pas-pasan. Kalau lebih, ya beliau bawa pulang.
Saat itu saya sedang mengandaikan, menjadi bapak Panter, dan juga menjadi anak pak Panter. Kalau saya menjadi bapak Panter, pasti saya merasa senang bukan main, saat bisa membawakan makanan pulang ke rumah, sekalipun banyaknya makanan tidak seberapa, sekalipun makanannya sederhana. Senang rasanya, ketika mampu memberikan apa yang anak inginkan. Saya membayangkan, ketika berpulang dengan tangan hampa, anak menghampiri, dan kita hanya bisa senyum saja. Di bagian hati yang terdalam, ada setumpuk kesedihan.
Lalu saya membayangkan menjadi sang anak. Membayangkan menjadi anak tentunya lebih mudah, karena saya sendiri pernah mengalaminya. Ketika sadar penghasilan bapak yang tidak seberapa, lalu beliau pulang dengan membawa sekeresek makanan, adalah satu dari sekian banyak kebahagiaan yang besar.
Mendengar beliau berkata demikian, saya mendadak kesal, bukan kesal kepada beliau. Kesal, kepada mereka yang makan pun tidak dihabiskan sampai bersih. Lalu dengan mudahnya bilang, “aduh ngga kuat udah kenyang” Bila tidak sanggup menghabiskan, mengapa membelinya, mengapa memesannya? Ketika kamu merasa “kebanyakan” uang dan mampu membeli makanan yang dimau, pikirkanlah, pikirkanlah orang orang yang kekurangan. Makanan-makanan sederhana pun begitu dinantikan. Kesal, demikian kesalnya hingga terkadang saya ingin melemparkan piring mereka ke wajah mereka, he edisi sewot.
Kamu tahu, saat kamu mampu membeli makanan apapun, dengan rasa apapun, dengan jumlah berapapun, dan 3x sehari, perlu kamu ingat, masih banyak di luar sana, yang dalam seharinya hanya mampu mendapatkan sepiring nasi, tanpa piring.
Dibalik kehidupan kehidupan yang sederhana, indah sekali, begitu mudahnya menemukan kebahagiaan di sana. Mungkin itulah kebahagiaan yang sebenarnya. Kebahagiaan yang bukan berasal dari materi, tapi dari hati.
Bahagia itu sederhana, yaitu ketika engkau merasakan kebahagiaan orang lain, saat mereka bercerita tentang kebahagiaannya. []