Oleh: Rohmat Saputra
HAJI Abdul malik Karim Amrullah, atau dikenal dengan Buya Hamka, adalah sosok tokoh Indonesia yang memiliki semangat dakwah. Baik dakwah diatas mimbar ataupun diatas kertas. Beliau yang terlahir dari keluarga berpendidikan, memiliki sifat yang sangat terpuji. Khususnya tatkala fitnah menyerang beliau.
Pernah Buya Hamka di fitnah sebagai pengkhianat bangsa yang kemudian menyebabkan beliau tinggal dibalik jeruji besi.
“Hai Hamka, pengkhianat negara. Menjual NKRI ke Malaysia,” caci orang yang menginterogasi Buya Hamka dengan telapak sepatunya menginjak meja sambil menunjuk-nunjuk ke muka Buya.
Kala itu psikologis Buya, datuk dari Maninjau bergelar doktor (gelar honoris causa) dari Al-Azhar Mesir, di uji dengan sangat berat.
Ditengah menahan amarah, muncul godaan syetan yang seolah membisiki beliau, “Itu lihatlah, ada silet dipinggiran jeruji. Potong saja urat nadimu. Apa gunanya hidup bila kehormatanmu direndahkan.”
Namun Beliau tidak menanggapi godaan syetan tersebut.
Kisah ini ditulis dalam buku beliau berjudul “Tasawuf modern”. Menjelang akhir-akhir hidupnya, beliau membaca buku tersebut untuk mengenang betapa sakitnya perlakuan ketika di penjara.
Pernah Buya sakitnya makin parah ketika berada di rumah sakit, akhirnya beliau dipindahkan ke rumah sakit hadiah dari Rusia di Jakarta. Namanya rumah sakit “persahabatan”.
Setelah beliau sehat dan sedang duduk di rumah, ada seseorang datang membawa surat dari pemerintah.
Isi suratnya “Kalau aku mati nanti, tolong yang menyolatkan jenazahku adalah Hamka.”
Ternyata orang yang menyiksa dan memenjarakan Buya hamka selama 4 tahun itu, akhirnya mati. Dan setelah mati justru ia ingin disholati oleh orang yang telah disiksanya. Namun Buya tetap mensholatinya. Alangkah lembutnya hati Buya Hamka. Begitu mudah meredam amarah dan memilih untuk memaafkan orang yang menyakitinya.
Muncul fitnah lain yang tersebar diseluruh Indonesia, bahwa Buya Hamka seorang plagiator. Dituduh novel karyanya (Tenggelamnya Kapal Vander Wich) diambil dari sastrawan Mesir, Manfaluthi. Fitnah itu menjadi headline dan disebar oleh Harian Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Hamka difitnah oleh seorang bernama Pramoedya Ananta Toer.
Kata salah seorang sastrawan Indonesia, Taufik Ismail, buku-buku Buya Hamka dibakar oleh Lekra.
Sikap Sang Buya terhadap fitnah murahan itu ditanggapi dengan diam. Tidak ada pembelaan dari beliau. Justru pembelaan muncul dari para sastrawan saat itu.
Seiring berjalannya waktu fitnah itu hilang. Selanjutnya PKI tumbang dan NKRI tetap utuh. Tak lama kemudian datang seorang wanita bermata sipit bersama sang suami yang diketahui merupakan seorang mualaf kepada Buya Hamka.
Melihat kedatangan orang yang cukup asing, beliau bertanya, “Kamu siapa?”
Wanita itu menjawab, “Saya datang disuruh ayah saya kemari, supaya suami saya bisa belajar Islam kepada Buya”.
“Siapa nama ayah kamu?” Tanya Buya lagi.
“Pramoedya Ananta Toer” Jawab wanita itu.
Buya tidak menaruh dendam terhadap keluarganya. Beliau kemudian bersedia mengajar mantu Pramoedya sampai betul-betul paham Islam. Seorang yang dulunya memfitnah Hamka, malah saat itu anak mantunya belajar Islam kepada Buya. Bisa jadi hal itu sebagai bentuk permohonan maaf, karena dulu telah membuat isu dan fitnah yang tidak jelas kebenarannya.
Dua kisah Buya Hamka diatas adalah cerminan hati seorang Ahli ilmu. Allah telah satukan dalam diri beliau antara ilmu dan hilm (adab). Dua anugerah tersebut jarang bersatu dalam seseorang. Kadang orang memiliki banyak ilmu tapi tidak berakhlak. Dan kadang ada orang yang memiliki akhlak baik tapi tidak berilmu.
Hati manusia biasa tentu memberontak bila menghadapi dua fitnah diatas. Bila fitnah itu menimpa kita, tentu tidak mau mensholati mayit dari orang yang menyiksa dan memenjara kita hingga 4 tahun. Dan bisa jadi kita juga memutus komunikasi bagi keluarga orang yang sudah memfitnah dengan keji.
Tapi itulah cerminan akhlak sang Buya. Sikap lembut dan pemaaf yang dicontohkan Nabi, beliau aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Selama itu bukan menghina Islam dan menginjak kehormatan kaum muslimin, pintu maaf selalu terbuka dari beliau. []
(Kisahnya sebagaimana yang dituturkan oleh Ust. Abdussomad Lc. MA.)