Oleh: Muhammad Pizaro
SUATU ketika Aq Syamsuddin membawa seorang murid bersama kudanya ke tengah Selat Bosphorus. Hingga di tengah selat, kuda keduanya tidak berani melanjutkan langkah. Kini, di depan mereka berdiri megah Istana Kontanstinopel.
Aq Syamsuddin lantas membacakan hadis di depan muridnya tersebut:
“Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Sehebat-hebat Amir (panglima perang) adalah Amir-nya dan sekuat-kuatnya pasukan adalah pasukannya,” [H.R. Ahmad bin Hanbal Al-Musnad 4/335].
Kemudian Aq Syamsuddin menoleh ke wajah muridnya dan berkata, “Nak, itu adalah istananya dan engkaulah panglimanya! Nak, itu adalah istananya dan engkaulah panglimanya!”
Siapa sangka, pada tanggal 29 Mei 1453, Kota Konstantinopel ini benar-benar jatuh ke tangan umat Islam. Dan penakluknya adalah pemuda yang dibacakan hadis tersebut.
Dialah Muhammad Al Fatih! Panglima yang berhasil membebaskan Konstantinopel bersama 250 ribu pasukan yang tidak pernah lepas Shalat Jamaah di Masjid!
Tak Pernah Jauh dari Ulama
Usia Al Fatih baru 19 tahun ketika ia harus menerima tampuk kepemimpinan tertinggi kekhilafahan Turki Utsmani dari ayahnya Sultan Murad II. Mesti bersahaja, ia adalah seorang anak muda yang cerdas. Ia hafal Qur’an sejak usia kanak-kanak. Menguasai 7 bahasa: Arab, Turki, Yunani, Serbia, Latin, Persia, dan Ibrani.
Sebenarnya sejak kecil, Al Fatih kecil bukanlah anak istimewa. Ayahnya, sultan Murad, mengeluhkan Al Fatih sebagai anak pemalas yang tidak mau belajar. Maklum sebagai anak bangsawan, Al Fatih kerap bersikap egois. Ketika ada guru datang, Al Fatih selalu menolak dan merendahkannya.
Namun, sang ayah, tahu kepada siapa dia harus mendidik anaknya. Tidak lain adalah para ulama. Sang ayah, Sultan Murad II, berpesan kepada sang ulama, agar tidak segan memukul anaknya jika tak menghormati kedatangannya.
Adalah Ahmad bin Ismail Al Kurani, yang memberikan pukulan itu. Ketegasan Al Kurani menjadi tamparan keras dan membekas dalam Al Fatih. “Aku dikirim ayahmu untuk pendidikanmu, bahkan jika diperlukan, pukulan pun aku keluarkan bagimu yang gemar membangkang,” ujar Al Kurani.
Pukulan kedua datang dari guru lainnya. Kali ini “hadiah” itu datang dari sang guru yang mendampinginya hingga ia kelak menjadi sultan: Aq Syamsuddin.
Kedua ulama ini bukanlah orang sembarangan. Mengenai Ahmad Kurani, Imam Suyuthi menulis, “Sesungguhnya ia adalah seorang yang berilmu lagi faqih, para ulama pada zamannya telah menjadi saksi atas kelebihan serta konsistensinya. Ia melampaui rekan-rekannya dalam ilmu ma’qul, dan munqul. Mahir dalam nahwu, ma’ani, dan bayan, serta fiqh dan masyhur dengan berbagai keutamaan.”
Sedangkan Aq Syamsuddin adalah ulama yang nasabnya tersambung ke Abu Bakar Ash-Shidiq. Aq Syamsuddin menjadi hafidz qur’an di usia 7 tahun dan ahli dalam biologi, kedokteran, astronomi dan pengobatan herbal.
Dari tangan keduanya, Al Fatih dilatih hidup sederhana. Agama menjadi dasar pemikirannya. Ilmu militer tak pernah lepas dari praktek memimpinnya. Peduli terhadap umatnya. Deretan motivasi tiada henti bahwa bebasnya Konstantinopel adalah takdirnya.
Perlahan tapi pasti, tempaan ulama mampu mengubah Al Fatih. Pangeran muda ini tumbuh dari bocah badung menjadi pemimpin sejati.
Tak heran saat dilantik menjadi Khalifah, Al Fatih langsung menancapkan tujuan utamanya: membebaskan Konstantinopel dan dialah pemimpinnya. [Lihat Dr Ali Muhammad Ash-Shalabi, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah, Pustaka Al Kuatsar: Jakarta, 2002]
Profesor bidang sejarah Turki Usmani, Halil Inalchik menyatakan, ulama atau syeikh senantiasa mempengaruhi hampir setiap keputusan dan kebijakan strategis pemerintahan Utsmani. Di mana ada Sultan, di situ ada ulama yang selalu menemani, membina, dan memberikan arahan.
Setiap Sultan pun dituntut untuk bertanggung jawab kepada ulama. Hal ini karena mereka mengamban misi sebagai pemimpin Islam dan bertanggung jawab terhadap masa depan umat.
Secara praktis, Kholifah memiliki dua pembantu utama. Pertama, mufti atau syaikhul Islam yang berwenang mewakili pemimpin Turki Utsmani dalam melaksanakan wewenang agama. Kedua, Shadhr al- A’zham (Perdana Menteri) yang berwenang mewakili pemimpin Turki Usmani dalam melaksanakan urusan dunia.
Dalam hirarki tertinggi kepimpinan Khilafah Utsmani, Al Fatih menempatkan ulama. Bahkan kedudukan ulama diletakkan setaraf dengan Perdana Menteri di sisi Sultan yang mengepalai negara.
Kebergantungan kepada ulama ini ditunjukkan Al Fatih dalam upaya membebaskan Konstatinopel. Ketika ia merasa putus asa, Aq Syamsuddin terus memberikan motivasi kepadanya. Arahan dan bimbingan juga diberikan dalam mempertajam strategi perang pasukan.
Melihat para laskar mulai goyah imannya, Aq Syamsuddin tak segan-segan menyarankan Al Fatih melantik para komandan yang tegas dan berani. [Lihat Muhammad Syaari Abdul Rahman, Kuasa Kepemimpinan Al Fateh, PTS Millenia: Selangor Malaysia, 2011]
Ketika serangan melalui darat, laut, dan udara tetap tak menggoyahkan benteng Konstantinopel, Al Fatih segera mencari Aq Syamsuddin.
Namun ketika menghampiri tenda Aq Syamsuddin, alangka kecewanya Al Fatih lantaran pengawal dan penjaga tenda sang guru menahannya di ujung pintu.
Mereka patuh dan taat pada pesan sang guru agar dirinya tidak diganggu. Mendapat perlakuan itu dirinya marah. Tanpa berpikir dua kali ia mengambil pisau yang terselip di jubanya. Al Fatih pun menancapkan ujung pisau ke tenda dan merobeknya.
Dan tampaklah pemandangan di dalamnya. Aq Syamsudin sedang berdujud dengan sujud panjang. Berdoa untuk kemenangan kaum muslimin. Melihat itu Muhammad Al Fatih menjadi tenang dan kembali bergabung dengan pasukannya. [Lihat Budi Ashari, Seri Parenting Nabawi Inspirasi dari Rumah Cahaya, CS Publishing: Jakarta, 2011].
Misi di Balik Bahasa
Ada tujuan utama di balik penguasaan bahasa yang dimiliki Al Fatih. Di sinilah para ulama telah memiliki visi jangka panjang guna menyiapkan Al Fatih sebagai pemimpin.
Menurut Muhammad Syaari Abdul Rahman dalam bukunya Kuasa Kepemimpinan Al Fateh, setidaknya ada 3 tujuan para ulama melatih Al Fatih hingga menguasai 7 bahasa.
Pertama, menyediakan bekal sebagai negarawan, yang mampu di terima orang dari segala bangsa dan agama. Hanya dengan bahasa Al Fatih dapat diterima baik di tiga buah benua Utsmani, yakni Afrika, Eropa dan Asia.
Kedua, mempermudah Al Fatih untuk mengetahui peradaban lawan dan mengetahui taktik dan strategi musuh yang ditulis dalam buku-buku sejarah mereka. Bayangkan, saat itu, Istana Khilafah Utsmani memili koleksi berbagai buku klasik dari zaman Yunani hingga Roma.
Ketiga, dengan penguasaan bahasa, Al Fatih ingin memberikan contoh teladan. Bahwa sebelum menginstruksikan petugas khususnya untuk menguasai bahasa, Al Fatih telah melakukannya sendiri.
Bahasa Negara Penutur
Arab = Bahasa utama Islam dan Al Qur’an
Turki = Bahasa Resmi Khilafah Utsmani
Latin = Itali dan negara-negara mediterania
Persia = Negara yang berhasil dibebaskan Utsmani di Asia Tengah
Yunani = Negara musuh- negara Balkan
Serbia = Negara musuh-Serbia,Bosnia, Montenegro,Kroasia
Ibrani = Negara musuh-Yahudi
Intelektualitas Al Fatih yang mampu menguasai beragam bahasa ini tentu menjadi kebanggan rakyat Ustmani. Mereka merasa nyaman karena tidak sulit berkomunikasi sang pemimpin. Terlebih jangkauan kekuasaan Utsmani membentang di 20 negara.
Kepercayaan rakyat pun meningkat. Umur muda tidak menjadi halangan bagi Al Fatih memimpin. Rakyat menganggap Al Fatih adalah sosok yang tepat menjadi Sultan. Kualitas baik dalam segi ilmu agama dan dunia memudahkan Al Fatih untuk menjadikan Utsmani dipimpin oleh anak muda yang gigih dalam berjuang. Mudah, bagi rakyat untuk menemuinya. Sebab tiap Jum’at, Al Fatih memberikan Khutbah sekaligus mengimami rakyatnya.
SEKTOR pendidikan menjadi fokus utama Al Fatih dalam memimpin. Pendidikan bagi Al Fatih adalah titik penting bangunan peradaban. Karena itu, semua rakyat diberikan pendidikan yang layak. Al Fatih memberlakukan kebijakan dari rakyat biasa hingga anak raja wajib mengikuti kelas pengajian agama dan ilmu-ilmu umum. Dari sinilah muncul individu-individu berkualitas hingga mampu membebaskan Konstantinopel.
Muhammad Syari dalam bukunya Kuasa Kepemimpinan Muhammad Al Fateh, menjelaskan, Sistem pendidikan inilah yang berlaku kepada Al Fatih sejak dari kecil. Ini bukan pemandangan baru di masa Pemerintahan Utsmani. Ini hanyalah rentetan tradisi yang mengakar ratusan tahun dalam setiap pemimpin besar Pemerintahan Utsmani termasuk anak-anak raja. Mereka dituntut untuk menguasai Al Qur’an, hadis, akidah, fiqih, bahasa Arab, sejarah, militer, dan lain sebagainya.
Ulama dilibatkan penuh dalam kurikulum pendidikan. Mereka mengawasi pembinaan para prajurit. Semuanya diselenggarakan melalui keputusan pemerintahan Utsmani. Aspek ibadah selalu dititikberatkan. Bahwa perjuangan harus dilandasi semangat iman, takwa, dan semangat ukhuwah, karena Islam adalah rahmat bagi sekalian alam.
Buah dari tempaan pendidikan itulah lahir 250.000 pasukan pembebas konstantinopel. Mereka adalah para tunas terpilih yang selama ini dibina dengan pendidikan agama dan militer yang matang.
250.000 pasukan itu tidak pernah meninggalkan shalat berjamaah di masjid sejak mereka akil baligh. Setengahnya tidak pernah meninggalkan shalat sunnah rawatib walau hanya sekali.
250.000 prajurit itu dipimpin seorang panglima yang tidak pernah masbuq dalam shalatnya. Senantiasa mendirikan shalat malam. Dan tak pernah tertinggal menjalankan shalat rawatib. Sejak baligh hingga dirinya berdiri tegak dalam detik-detik operasi pembebasan Konstantinopel. Panglima itu adalah Muhamamad Al Fatih.
Kematangan ilmu dari para pejuang Utsmani ini dapat terlihat saat Konstantinopel bebas. Saat itu, keadilan Islam dirasakan hampir seluruh warga Konstatinopel, baik Muslim maupun warga Kristen Yunani dan Italia. Bayangan mereka tentang bayangan Muslim yang kejam dan beringas, berbanding terbalik dengan kondisi yang mereka lihat. Kearifan ajaran Islam pun segera membekas di hati warga Konstantinopel.
Adapun terhadap tawanan-tawanan perang, sebagian besar mereka dibebaskan dan sebagian yang lain lagi ditebus dengan emas dan perak. Al Fatih bahkan menebus beberapa tawanan perang dengan harta pribadinya. Semua diperlakukan sama sebagai warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim, hanya kepada penduduk non-Muslim diterapkan jizyah, sesuai dengan syariat Islam.
Selain itu, Al Fatih membagikan sendiri harta-harta kepada para wanita yang ditinggal mati suaminya sehingga dapat menghidupi keluarganya. Sementara itu, para Yeniseri (Pasukan Khusus) diminta membangun kembali rumah penduduk yang rusak karena perang.
Mereka juga diminta berlaku baik dan penuh kasih sayang kepada warga tanpa memandang agama mereka. Hal ini diperkuat ketika Sultan mengeluarkan surak keputusan pada 1 Juni 1453, tiga hari setelah pembebasan Konstatinopel. Sebagaimana dicatat oleh Sphrantzes.
“Pada hari ketiga setelah jatuhnya kota kami, Sultan merayakan kemenangannya dengan perayaan yang besar. Dan mengeluarkan pengumuman: bahwa penduduk segala usia yang berhasil lolos dari deteksi ataupun yang bersembunyi di seluruh penjuru kota untuk keluar dan mereka dijamin kebebasannya dan tidak akan dipertanyakan apapun kepada mereka. Lalu, ia mengumumkan bahwa setiap properti yang ditinggal pemiliknya ketika pengepungan akan tetap menjadi miliknya. Semua penduduk akan diperlakukan sebagaimana pangkat dan agamanya sebagaimana sediakala, seolah tidak ada sesuatupun yang berubah.”
Jumat pertama setelah usai pembebasan, pada 1 Juni 1453, Al Fatih mengadakan Shalat Jum’at kali pertamanya di Konstantinopel. Beliau memberikan khutbah sekaligus mengimami para pasukannya. Nama Konstantinopel berganti menjadi Islambol, yang artinya “penuh dengan Islam”. [Lihat: Felix Y. Siauw, Muhammad Al Fatih 1453, Khilafah Press: Jakarta, 2011).
Muhammad Al Fatih wafat pada 3 Mei 1481. Di akhir hayatnya, Al Fatih berpesan kepada anaknya Yazid II, sebagaimana dilansir Zuhair Mahmud al Humawi dalam kitabnya Washaaya wa`Izhaat Qiilat fi Aakhiril-Hayaat:
“Aku akan meninggal tapi aku tidak akan sedih. Karena aku akan meninggalkan orang sepertimu wahai anakku. Berlakulah adil, soleh, dan penyayanglah. Bekerjalah untuk menyebarkan agama Islam karena itu kewajiban raja-raja di muka bumi ini. Dahulukanlah perhatian kepada agama. Dan janganlah kamu jemu dan bosan untuk terus menjalaninya. Janganlah engkau angkat jadi pegawaimu mereka yang tidak peduli dengan agama, yang tidak menjauhi dosa besar, dan yang tenggelam dalam dosa. Ketahuilah, sesungguhnya para ulama adalah poros kekuatan di tengah tubuh negara, maka muliakanlah mereka. Semangati mereka. Bila ada dari mereka yang tinggal di negeri lain, hadirkanlah dan hormatilah mereka. Cukupilah keperluan mereka. Berhati-hatilah, waspadalah, jangan sampai engkau tertipu oleh harta maupun tentara. Jangan sampai engkau jauhkan ahli syari’at dari pintumu. Jangan sampai engkau cenderung kepada pekerjaan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Karena sesungguhnya agama itulah tujuan kta, hidayah itulah jalan kita. Dan oleh sebab itu kita dimenangkan.” []