Oleh: Choqi Isyraqi
“Nak, kamu enggak ikut pengajian hari ini?” Laki-laki tua itu bertanya pada anaknya.
“Enggak ah. Males. Lagian materinya juga gak terlalu penting, tentang mengurus jenazah.”
Dia tetap asyik memainkan handphonenya, tanpa mempedulikan ayahnya yang baru saja bertanya.
“Baik kalau begitu, tunggu sebentar.”
“Nih, coba pegang”
Ayah menyodorkan sebuah kain putih kepada anak laki-lakinya. Anak laki-laki itu menghentikan permainannya. Melihat kain itu dengan penuh rasa heran, lalu mengalihkan pandangannya kepada mata ayahnya, tetap dengan rasa heran.
“Untuk apa?”
“Pegang saja dulu”
Anak laki-laki itu akhirnya memegang kain itu. Tiba-tiba, ayah tidur di hadapan anak laki-lakinya, beralaskan tikar berwarna coklat. Ia simpan kedua tangannya diatas perut, seperti orang yang mau salat.
“Coba Nak, jika sekarang ayah meninggal, apa yang akan kamu lakukan?”
“…”
“Ayo, cepat. Kira-kira, apa yang harus kamu lakukan?” Ayah kembali bertanya dengan tegas.
“hmm, aku tidak tahu Yah.”
Ayah langsung bangkit dari posisi tidur, menjadi posisi duduk. Ia melihat wajah anak laki-lakinya.
“Kau tahu, jika kau berfikir bahwa urusan jenazah itu tidak penting, maka kau juga menganggap kematian ayah tidaklah penting. Kau pikir, siapa yang akan mengurus jenazah ayah nanti ketika kita meninggal? Pak Ustadz? Warga sekitar?”
Anak laki-laki itu terdiam. Tak tahu harus menjawab apa.
“Nak, ayah ingin, ketika ayah mati nanti, engkaulah yang mengurus jenazah ayah. Ketika ayah mati nanti, engkaulah yang membaca do’a, engkaulah yang melantunkan ayat-ayat qur’an, ayah ingin itu engkau.”
“Ayah tak ingin kau hanya terdiam ketika ayah meninggal kelak. Ayah ingin, kau lah yang mengurus ayah.”
“Apa kamu sudah belajar, tentang bagaimana mengurus jenazah ayah nanti?”
Pertanyaan itu, membuat anak laki-laki itu terdiam. []