Oleh : Vivin Indriani
Member Komunitas Revowriter
TOLERANSI. Sebuah kata yang hari ini banyak dipakai oleh beragam kepentingan untuk menghadang siapapun pihak yang berseberangan. Toleransi kini bahkan mengemuka untuk menyebut seorang muslim dengan atribut keagamaannya. Bahkan jika kita berselancar di internet menggunakan kata ‘toleransi’, maka postingan cerita yang memuat kata tersebut hampir sebagian besar selalu berkaitan dengan Islam dan kaum muslim. Tentu dengan konotasi yang negatif.
Menurut makna Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI) makna toleransi adalah bersikap atau bersifat toleran yaitu menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Makna ini sangat ambigu sebetulnya. Sebab masyarakat hidup dalam komunitas yang berbeda bahkan kadang terdapat yang berseberangan. Sementara mereka hidup di dalam satu lingkungan yang mustahil menjalankan sikap dan sifat tertentu dari kepercayaan yang dianutnya tanpa menyinggung kepercayaan yang lain. Tentu harus ada aturan yang baku untuk mengatur semua keberagaman di masyarakat dimana aturan tersebut bisa menguntungkan semua orang tanpa terkecuali.
Islam telah berbicara toleransi selama berabad-abad lamanya. Dan kemajuan demi kemajuan yang diperoleh Islam sebagai peradaban besar telah menunjukkan pencapaian yang besar dan positif tentang toleransi hidup bernegara. Berapa banyak negeri-negeri yang justru menuai kejayaan setelah ditaklukkan Islam. Ketinggian peradaban justru dicapai negeri-negeri muslim ketika toleransi mengikuti standar Islam yang mewujud dalam aturan kenegaraan.
BACA JUGA: Pengamat: Intoleransi Adalah Anak Tangga Menuju Radikalisme dan Terorisme
Dalam Al Quran Allah Ta’ala berfirman, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Mumtahanah: 8-9)
Inilah pokok prinsip toleransi dalam Islam. Islam menganjurkan berbuat baik kepada siapa saja dalam berbagai aspek kecuali dalam urusan agama. Allah telah dengan jelas melarangnya dalam QS. Al-Kafirun yakni ‘lakum diinukum waliyadin’
(bagimu agamamu dan bagiku agamaku). Jadi selama tidak berkaitan dengan persoalan akidah maka tolong menolong dan toleransi diperkenankan.
Toleransi Andalusia
Andalusia adalah jembatan utama peradaban Islam dan pintu penting proses transfer peradaban Islam ke Eropa. Selama delapan abad (92-897 H/711-1492 M) Andalusia telah memberikan pencerahan bagi peradaban kelam bangsa Eropa kala itu. Andalusia sebagai bagian dari kekuasaan peradaban Islam telah melakukan banyak sekali loncatan besar dalam kondisi Daulah Islam yang sedikit melemah secara politik. Hal itu mencakup bidang ilmu pengetahuan, sastra, ilmiah, pemikiran, sosial, seni dan ekonomi.
Gustave Le Bon mengatakan dalam bukunya The Arab Civilization halaman 273, ” Begitu orang-orang Arab berhasil menaklukkan Spanyol (Andalusia), mereka mulai menegakkan risalah peradaban di sana. Maka dalam waktu kurang dari satu abad mereka mampu menghidupkan tanah mati, membangun kota-kota yang runtuh, mendirikan bangunan-bangunan megah, dan menjalin hubungan perdagangan yang kuat dengan negara-negara lain. Kemudian mereka memberikan perhatian yang besar untuk mempelajari ilmu pengetahuan dan sastra, menerjemahkan buku-buku Yunani dan Latin, dan mendirikan universitas-universitas yang menjadi satu-satunya sumber ilmu pengetahuan dan peradaban di Eropa dalam waktu yang lama.”
Politik Islam yang toleran berpengaruh besar terhadap kejiwaan ahli dzimmah(non muslim yang berada di bawah kekuasaan negara Islam) dari kelompok Yahudi dan Nashrani. Hal itu karena orang-orang Spanyol mempelajari bahasa Arab dan menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan mereka mengutamakannya daripada bahasa Latin. Banyak orang-orang Yahudi yang belajar pada guru-guru berbangsa Arab. Orang-orang Eropa justru belajar bahwa Islam sebagai agama dengan toleransi tinggi, telah menyediakan bagi mereka kemajuan peradaban dan pengetahuan yang tidak mereka dapatkan dalam kekuasaan saat Islam belum datang.
Masyarakat Eropa pada umumnya dan Andalusia khususnya telah menikmati kebebasan mereguk gemilangnya peradaban Islam meski mereka masih non muslim. Peradaban Islam telah menyajikan teknologi dan kemajuan yang bisa dirasakan semua pihak tanpa membedakan mereka muslim atau bukan. Bahkan negara memberikan jaminan keamanan yang sama pada harta dan jiwa mereka yang tinggal di wilayah Islam tanpa ada pembedaan dengan warga negara muslim. Dari sini bisa terlihat betapa adil dan makmurnya dunia dibawah kekuasaan Islam.
BACA JUGA: Macron: Saya Tak Suka Jilbab, Tapi Wanita Muslim Berhijab harus Ditoleransi
Sarton mengatakan sebagaimana dikutip dalam kitab Hakadza Kanu Yauma Kunna karya Hassan Syamsi Basya, “Kaum muslimin, para pionir Timur, berhasil mewujudkan keberhasilan-keberhasilan besar pada masa abad pertengahan. Mereka membuat karya yang paling agung, lebih orisinil dan lebih kental dengan bahasa Arab. Dari pertengahan abad delapan hingga akhir abad sebelas bahasa Arab menjadi bahasa ilmu di dunia. Hingga siapa saja yang ingin menguasai ilmu pada masanya dan penemuan-penemuan terbaru harus mempelajari bahasa Arab. Sungguh banyak orang non Arab yang menempuh jalan itu. Dan saya yakin bahwa kita tidak butuh untuk menjelaskan keberhasilan-keberhasilan kaum muslimin di bidang ilmu pengetahuan fisika, matematika, astronomi, kimia, biologi, kedokteran dan geografi.”
Pemikir Leopold Weiss, seorang Yahudi berkebangsaan Austria yang bertugas sebagai wartawan surat kabar di kawasan Arab dan negeri-negeri Islam mengukuhkan peran Cordoba dalam pembuatan jalan menuju masa kebangkitan. Penulis yang belakangan kemudian masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Muhammad Asad ini menuliskan dalam bukunya Al-Islam Ala Muftaraq Ath Thuruq, “Kita tidak berlebihan ketika kita mengatakan bahwa zaman ilmiah modern yang sekarang kita hidup di dalamnya jalan pertama kalinya tidak dibuka di kota-kota Eropa. Akan tetapi, dibuka di kantong-kantong Islam, di Damaskus, Baghdad, Kairo dan Cordoba.”
Tuduhan Atas Nama Islam
Jadi jika hari ini ummat Islam seringkali menjadi tertuduh setiap kali isu toleransi mengemuka, maka ini sungguh tuduhan keji pada sejarah gemilang Islam di abad silam. Dunia buta atau pura-pura buta bahwa kesejahteraan dunia pernah dipersembahkan Islam melalui tangan-tangan peradabannya. Bahkan sesungguhnya, isu toleransi ini kerap kali digunakan sebagai alat untuk melemahkan Islam dan kaum muslimin. Melalui tuduhan agama intoleransi, radikal, barbar bahkan terorisme.
Jauh sebelum peradaban Barat yang rusak berbicara tentang toleransi, sesungguhnya Islam telah lebih maju berabad-abad lamanya mempersembahkan contoh toleransi yang hakiki pada umat manusia dari berbagai agama di dunia. Bahkan tidak sekedar toleransi, Islam justru telah mewujudkan perdamaian dunia, penjagaan atas hak-hak manusia beradab serta perlindungan penuh bagi semua warga negara muslim maupun non muslim. Dan hal itu terjadi ketika kekuasaan berada di tangan Islam.
Sebagaimana disampaikan Asma’ binti Abi Bakr radhiyallahu ‘anhuma yang berkata, “Ibuku pernah mendatangiku di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan membenci Islam. Aku pun bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tetap jalin hubungan baik dengannya. Beliau menjawab, “Iya, boleh.” Ibnu ‘Uyainah mengatakan bahwa tatkala itu turunlah ayat, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu ….” (QS. Al Mumtahanah: 8) (HR. Bukhari no. 5978). []
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.