CIMAHI—Siang itu kendaraanku terhenti ketika melihat seorang kakek yang tengah beristirahat di pinggir jalan, sambil memijit kakinya yang sudah tampak keriput dan rapuh. Perjalananku untuk meliput sebuah peristiwa di Kawasan Melong, kota Cimahi harus kutunda dulu demi berbincang dengan sang kakek.
Nampak terlihat disamping sang kakek ada beberapa jenis sayuran yang dikemas dalam sebuah keranjang, lengkap dengan alat pikulnya.
Pertanyaan demi pertanyaan aku lontarkan padanya, hingga beberapa saat kemudian perbincangan diantara kami mulai cair. Nampaknya sang kakek sedang istirahat karena kecapean setelah beberapa kilometer berjalan kaki menjajakan sayur dagangannya.
Dialah Abah Ato, Asal kampung Cikuya, Desa Lagadar, Kecamatan, Margaasih, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Dirinya kini berusia 70 tahun. Namun meski usianya kini sudah sepuh, dirinya masih harus tetap mencari nafkah untuk istrinya yang kini berusia 65 tahun.
“Saya jualan sayur, ini juga jualin sayur orang, kalau bertani udah gak kuat,” jelas Abah Ato.
Namun dirinya tidak setiap hari beruntung, terkadang sayuran yang dijualnya tidak habis terjual. Kepiawaiannya berjulan tidak seperti dulu lagi. Meski berjalan puluhan kilo meter memikul sayur jualannya namun nyatanya terkadang jarang yang ingin membeli sayurnya. Entah kenapa, namun sayuran di warung ataupun di supermarket nampaknya lebih memikat hati masyarakat dibandingkan sayuran jualan Abah Ato, ataupun sayuran pedagang kaki lima lainnya.
Untuk berjualan dengan berjalan puluhan kilo dalam sehari nyatanya Abah hanya mampu membawa pulang rupiah sekitar 20 hingga 40 ribu rupiah saja per harinya. Miris memang, namun itulah kenyataan lansia di negeri ini, padahal harusnya mereka mendapat perlindungan.
Namun meski sayurannya tidak habis terjual, dirinya tak berputus asa begitu saja. Nyatanya Abah Ato tidak hanya mengharapkan rupiah, lebih dari itu pahala sebagai bekal akhiratlah yang diharapakannya.
Sayuran yang tidak habis terjual dibagikan Abah Ato pada tetangga maupun orang yang membutuhkan. Harapannya tidak lain hanyalah Ridha Allah SWT, entah seperti apa pembagian dengan sang pemilik sayur, namun itulah harapan dirinya.
“Kadang-kadang 20 kadang 40 ribu juga, kalau tidak habis dijual dibagikan saja sama orang-orang,” jelasnya sembari memijit kakinya.
Tampak terlihat, jualan sang kakek saat itu masih banyak yang belum terjual.
Rasa iba dan ingat pada orang tua sendiri terus menyelimuti hati ini, hingga akhirnya kukeluarkan selembar rupiah dengan nominal paling tinggi diantara yang lain. Kukeluarkan dan kusodorkan padanya dengan dengan alasan ingin membeli sayur sang kakek, meski saat itu sedang tidak butuh sayuran.
Raut bahagia nampak terlihat diwajah sang kakek setelah kusodorkan uang tersebut, dengan tergesa-gesa sang kakek mengambilkan sayur sayuran miliknya, meski tak tau lagi berapa harga satu ikatnya.
Namun nampaknya sang kakek juga tidak memiliki kantong kresek atau kantong plastik untuk tempat sayuran tersebut, hingga terdorong untuk membelikan sang kakek kantong kresek guna mempermudah sang kakek berjualan.
Dalam hati kuniatkan semoga bisa menjadi amal kebaikan, sekaligus menjadi pelajaran bagi diri ini. Betapa pentingnya memperhatikan orang tua dikala mereka memasuki usia senja, hingga akhirnya terpikir olehku untuk segera menghubungi orang tua diseberang pulau sana.
Kini baru kusadari kesibukan terkadang membuat lalai diri ini hanya untuk menanyakan kabar mereka di sebrang pulau sana.
Nampaknya sang kakek sadar jika dirinya tidak memiliki kembalian, hingga menanyakan padaku, adakah uang yang pas.
“Ini gimana kembalinya Jang, ada uang pas saja,” tanyanya padaku.
“Kembalinya buat kakek saja, semoga bermanfaat untuk kakek ya,” jawabku.
Dengan berbagai doa kebaikan sang kakek mengucapkannya padaku.
“Terimakasih nak, semoga rejekinya dimudahkan, diberi umur yang panjang,” doanya.
Kuambilah sayuran sang kakek yang diberikan padaku. Kubawa hingga sampai ditempat liputan, karena memang saat itu lagi menuju ketempat liputan.
Satu hal yang teringat dalam benakku, sang kakek rela berjalan kaki demi rejeki yang halal. Dengan baju kokohnya dan celana yang lusuh, dirinya masih mau mencari rejeki yang halal dan tidak meminta-minta dipinggir jalan, seperti pada kebanyakan.
Bagiku selembar rupiah masih mudah aku dapatkan. Namun bagi sang kakek, 20 ribu rupiahpun sangat berharga dan harus berjalan puluhan kilo untuk mendapatkannya.
Maka jika melihat yang seperti ini belihlah meski sebenarnya sedang tidak butuh. []
Reporter: Saifal