SELURUH umat Islam menjalani ibadah puasa wajib selama satu bulan penuh setiap Ramadhan tiba. Namun, ada beberapa keadaan dimana seorang muslim/muslimah diperbolehkan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan, antara lain karena sakit, bepergian, hamil, atau menyusui. Jika kondisi itu terjadi, mereka diwajibkan untuk mengganti puasanya di luar ramadhan (qadha’).
Mengingat Ramadhan 1439 hijriah akan segera tiba, setiap muslim perlu memeriksa, apakah masih ada qadha yang belum terbayar hingga sekarang? Nah, bagaimana jika masih ada? Ya, segeralah tunaikan puasa qadhanya sebelum benar-benar memasuki bulan Ramadhan.
Akan tetapi, seperti halnya puasa, ada jug abeberapa kondisi yang membuat seorang muslim belum mampu meng-qadha puasanya. Misalnya wanita yang dalam keadaan hamil di bulan Ramadhan, kemudian ia tidak berpuasa karena kondisi kesehatannya tidak memungkinkan untuk berpuasa.
Menurut jumhur ulama ia berkewajiban untuk meng-qadha’ puasanya di hari lain. Namun, begitu Ramadhan berlalu, ia mengalami rentetan peristiwa yang memberatkan untuk meng-qadha’ puasa yang ia tinggalkan di bulan Ramadhan lalu. Misalnya sebab melahirkan, nifas, dan program menyusui yang berlangsung berbulan-bulan. Hingga ‘hutang’ puasanya belum sempat ia tunaikan hingga bertemu bulan Ramadhan berikutnya. Lalu, bagaimana ia harus menyikapi keadaan ini?
Kasus diatas juga dapat terjadi pada orang sakit yang meninggalkan kewajiban puasa di bulan Ramadhan. Menurut jumhur ulama ia berkewajiban untuk meng-qadha’ puasa di hari lain. Akan tetapi setelah bulan Ramadhan berlalu, ia belum juga meng-qadha’ puasanya sampai Ramadhan berikutnya tiba. Baik karena alasan lupa, lalai, atau sebab sakit yang tak kunjung sembuh. Bagaimana hukumnya?
Setidaknya ada dua alasan seseorang menunda qadha-nya, yaitu adanya udzur syar’i dan menunda tanpa udzur syar’i. Berikut ini penjelasan selengkapnya.
Menunda qadha karena udzur syar’i
Seluruh fuqaha (ulama ahli Fiqih) sepakat bahwa orang yang punya hutang qadha’ puasa wajib (puasa Ramadhan), kemudian dia menunda qadha’ nya itu sampai bertemu Ramadhan berikutnya karena ada udzur syar’i, maka ia tidak berdosa dan boleh meng-qadha’ nya sampai tiba masanya ia mampu membayar qadha’ itu, meskipun sudah dua atau tiga Ramadhan dilaluinya. (lihat: al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah jilid 32, hal. 70)
Udzur Syar’i disini maksudnya adalah sebab yang dibenarkan dalam syariat untuk menunda qadha’ puasa Ramadhan. Misalnya, bila kondisi wanita hamil dan menyusui masih tidak juga memungkinkannya untuk berpuasa. Karena jika berpuasa, khawatir akan terjadi hal-hal buruk terhadap kesehatan diri dan bayi yang dikandung /disusuinya.
Contohnya, apabila ada wanita hamil di Ramadhan tahun 2012, kemudian kondisi memaksanya untuk meninggalkan puasa selama beberapa hari karena khawatir akan terjadi hal buruk pada kesehatan badannya, maka menurut para ulama madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali wanita ini wajib mengganti puasanya dengan qadha’ usai Ramadhan nanti.
Akan tetapi bila sehabis Ramadhan ternyata kondisi wanita ini masih sangat payah sebab masih hamil atau sedang menyusui, dan tidak memungkinkannya untuk meng-qadha’ hingga akhirnya bertemu Ramadhan berikutnya (2013), maka wanita ini tidak berdosa dan boleh melaksanakan qadha’ puasanya yang terdahulu itu pada waktu ia sanggup untuk melaksanakannya. Ia juga tidak berkewajiban untuk membayar fidyah.
Menunda Qadha’ Tanpa Ada Udzhur Syar’i
Jumhur Fuqaha’ (mayoritas ulama) dari madzhab Maliki, Syafi’i, Hambali, serta Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan beberapa shahabat Nabi SAW berpendapat bahwa orang yang tidak punya udzur syar’i dan lalai dalam meng-qadha’ puasanya sampai bertemu Ramadhan berikutnya, ia wajib membayar fidyah atas hari-hari puasa yang belum di qadha’nya itu, tanpa menggugurkan kewajiban qadha’nya.
Misalnya, bila ada orang yang punya tanggungan qadha’ puasa, kemudian usai Ramadhan ia punya kesempatan meng-qadha’ hutang-hutang puasanya itu, tapi ia lalai dan menundanya sampai akhirnya bertemu Ramadhan selanjutnya. Maka menurut mayoritas ulama, ia wajib membayar fidyah atas hutang puasanya yang belum di qadha’, tanpa menggugurkan kewajiban qadha’ itu sendiri.
Artinya, kewajiban qadha’ tetap harus ia lakukan usai Ramadhan yang kedua tadi, plus ditambah bayar fidyah karena ia telah lalai melakukan qadha’ sampai bertemu Ramadhan yang kedua.
Jika ia punya hutang puasa 5 hari, dan ia belum mengqadha’nya seharipun hingga bertemu Ramadhan selanjutnya, maka selain tetap harus membayar qadha’ ia juga wajib membayar fidyah selama 5 hari itu. Akan tetapi bila sebelum Ramadhan kedua ia sempat meng-qadha’ puasanya selama 3 hari, sedangkan sisanya yang 2 hari ia tunda sampai bertemu Ramadhan yang kedua, maka ia harus membayar fidyah selama 2 hari saja.
Fidyah yang harus dibayar adalah 1 mud/hari yang diberikan pada fakir miskin berupa makanan pokok yang lazim di konsumsi di negeri itu, kalau di Indonesia biasanya beras. Ukuran beras 1 mud kurang lebih ¼ dari ukuran zakat fitrah, yakni sekitar 0,875 liter atau 0,625 kg.
Demikianlah tindakan yang dapat dilkukan seorang muslim yang belum sempat mengqadha puasannya pada saat Ramadhan berikutnya sudah tiba. []
SUMBER: RUMAH FIQIH