KALAU Anda melihat, ada perempuan hadir di pengajian memakai kerudung yang masih memperlihatkan sebagian rambut dan leher, maka kita perlu ‘menilai’ sesuai faktor-faktor penyerta yang ada.
Misal:
1. Jika perempuan yang belum sempurna memakai kerudung itu orang yang baru hijrah, sebelumnya jangankan menutup aurat secara sempurna, shalat pun tidak. Maka kita patut gembira atas kehadirannya di pengajian dan pakaiannya yang sudah ‘setengah baik’.
Kita perlu pahami, ini adalah prosesnya menuju baik. Kita harus mendukungnya dan menunjukkan kehadirannya diterima. Bukan malah menjauhi atau menceramahinya dengan keras, yang malah membuatnya lari.
BACA JUGA:Â 5 Tips Rambut Bebas Gatal bagi Hijabers
2. Jika sebaliknya, perempuan yang belum sempurna memakai kerudung adalah santri yang telah ngaji sekian tahun, bahkan sudah menjadi tokoh, atau ia anak kiyai atau guru agama yang telah menerima didikan Islam sejak kecil, atau ia sebelumnya telah sempurna memakai kerudung, menutup aurat secara sempurna, namun kemudian di suatu hari ia tampil dengan pakaian seperti di atas, maka ini masalah.
Kita patut khawatir ia telah jatuh pada syubhat dan syahwat sekaligus. Bisa jadi ia sudah ‘bosan’ taat kepada Allah ta’ala, wal ‘iyadzu billah. Atau ia terpengaruh paham liberal dan feminis sekaligus, yang memang ingin memberontak terhadap hal-hal yang tsawabit (prinsip-prinsip pokok) dalam Islam.
Orang seperti ini perlu diberi peringatan, baik dengan lembut ataupun keras. Apalagi jika ia punya potensi mengajak orang-orang untuk mengikuti pemahaman dan perilakunya. Ini adalah kemungkaran yang berlaku kewajiban nahi munkar padanya.
3. Jika ia (perempuan yang belum sempurna memakai kerudung) adalah ‘anak hijrah’ yang sudah ‘hijrah’ lumayan lama, beberapa bulan atau bahkan sudah lebih dari setahun, tapi cara berpakaiannya belum berkembang ke arah yang lebih baik. Maka kita perlu mengecek kurikulum kajian kita dan pendampingan kita padanya.
Jika ia masih belum mau taat betul-betul dalam urusan pakaian, maka kemungkinan ada yang salah dengan kurikulum kita. Ada hal penting yang mungkin ‘lupa’ kita sampaikan. Ada pendampingan yang sangat mungkin tidak kita lakukan dengan baik terhadap perempuan yang belum sempurna memakai kerudung.
Ini mirip dengan seorang penceramah yang mendapat jadwal ceramah bertahun-tahun di kalangan karyawan bank konvensional, tapi tak pernah menyinggung soal haramnya riba. Dakwahnya ternyata tak pernah menyentuh masalah penting, yang wajib diketahui oleh para karyawan tersebut.
Mirip dengan orang yang berulang kali mendapatkan kesempatan bicara Islam di depan non-muslim, tapi tak pernah menjelaskan kebenaran dan keunggulan diin Islam atas seluruh adyan. Ada yang perlu diperbaiki dari kurikulum kita.
BACA JUGA:Â Bolehkah Perempuan Membaca Alquran Tanpa Hijab?
Dari rincian di atas, bisa kita lihat, satu kondisi yang tampak sama, yaitu perempuan yang hadir di pengajian dengan memakai kerudung yang masih tampak sebagian rambut dan leher, perlu disikapi secara berbeda, sesuai faktor-faktor penyertanya.
Setiap keadaan perlu disikapi secara berbeda, memperhatikan sisi maslahat dan mafsadat untuk dakwah Islam. Ini yang kita kenal dengan istilah fiqih dakwah.
Karena itu juga, saya kurang sepakat dengan orang-orang yang membuat dikotomi antara dakwah lemah lembut dan dakwah keras. Padahal, masing-masing ada tempatnya. Kita perlu lemah lembut pada tempatnya. Kita perlu keras pada tempatnya. Dan inilah manhaj dakwah yang dipraktikkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Wallahu a’lam. []
Facebook: Muhammad Abduh Negara